Bagaimana Mengatasi Permasalahan Garam?

Ilustrasi tambak garam.

Jakarta, AF – Presiden Joko Widodo telah menunjukkan bahwa intervensinya kerap efektif dalam mengatasi sejumlah permasalahan, seperti terkait kontroversi alat tangkap cantrang yang telah lama mengemuka di sektor perikanan nasional. Setelah membahas bersama-sama dengan perwakilan nelayan di Istana Negara, Jakarta, pada 17 Januari 2018, Presiden yang disertai sejumlah menteri Kabinet Kerja dan perwakilan pemerintahan daerah akhirnya mencapai kata sepakat dengan perwakilan nelayan cantrang.

Kesimpulan dari pertemuan tersebut adalah memberikan kesempatan bagi seluruh nelayan cantrang guna merampungkan pemindahan dari alat tangkap cantrang ke alat tangkap baru yang lebih ramah lingkungan, tanpa adanya batas waktu, namun nelayan cantrang tidak boleh menambah jumlah kapal.  Komitmen bersama tersebut dinilai efektif, sehingga timbullah pertanyaan, perlukah Presiden juga turun tangan mengatasi permasalahan garam di Tanah Air? Sebagaimana diketahui, persoalan garam mengemuka kembali baru-baru ini terkait dengan keputusan pemerintah untuk melakukan impor garam.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seusai rapat koordinasi di Jakarta, Jumat (19/1), menyatakan, pemerintah siap mengimpor 3,7 juta ton garam industri untuk memenuhi kebutuhan agar industri mampu membuat perencanaan yang baik guna mendorong ekspansi bisnis.
Menko Perekonomian mengatakan permintaan impor garam industri disampaikan Kementerian Perindustrian mengingat garam industri tidak diproduksi di dalam negeri, padahal komoditas ini dibutuhkan untuk mendorong produksi.

Darmin menambahkan angka 3,7 juta ton sudah disesuaikan dengan kebutuhan garam industri per tahun, sehingga apabila Kementerian Perdagangan dalam setahun ini ingin melakukan impor, tidak perlu lagi meminta rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dengan demikian, lanjutnya, aturan tentang rekomendasi tetap di KKP, tetapi impor garam industri dinilai tidak memerlukan rekomendasi setiap kali impor.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Senin (22/1), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan impor garam sebanyak 3,7 juta ton tidak sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menurut Susi Pudjiastuti, rekomendasi yang dikeluarkan pihaknya untuk impor garam adalah 2,17 juta ton, yang kerap dibulatkan berbagai pihak menjadi 2,2 juta ton.
Susi menginginkan berbagai pihak jangan sampai mempolitisasi permasalahan impor garam, namun rekomendasi yang dikeluarkan KKP telah melalui hasil investigasi yang dilakukan pihaknya bahwa hasil produksi petani garam selama ini sudah cukup baik.
Bila ada kenaikan harga dalam komoditas garam yang diproduksi domestik, lanjutnya, maka sebenarnya hal tersebut menguntungkan petani garam nasional yang telah memproduksi komoditas garam tersebut di berbagai daerah.

Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan menginginkan agar Komisi IV DPR RI juga dapat memperhatikan permasalahan tersebut agar petani garam dan anggota keluarganya juga dapat meningkat kesejahteraannya.
Menteri Susi juga sempat melontarkan wacana kemungkinan mengenai produksi garam di berbagai daerah sebaiknya diserahkan kepada pihak Kementeriaan Perdagangan.
Menurut dia, hal tersebut karena KKP telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan bantuan dalam rangka membantu petani garam nasional. Namun, lanjutnya, persoalan tata niaga di dalam negeri dinilai masih belum kondusif dan konstruktif, serta kerap terasa sulit untuk dijalankan.
Dia mencontohkan, jaringan transportasi dan konektivitas terkait komoditas garam yang dinilai mahal, padahal masalah itu di luar kapasitas pihaknya.

Susi juga menginginkan agar impor garam non-industri hanya boleh dilakukan oleh PT Garam sehingga impor garam konsumsi tidak seenaknya dapat masuk begitu saja.
Bangun fasilitas Apalagi, KKP sebelumnya juga telah membangun banyak fasilitas seperti berhasil menyelesaikan pembangunan sebanyak enam gudang garam untuk menyimpan komoditas garam hasil produksi rakyat pada 2017.

Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengemukan, KKP juga telah melaksanakan program prioritas 2017 termasuk pendataan garam nasional dan program Pugar (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) di 15 lokasi.
Sebagaimana diwartakan, keenam gudang yang dibangun di sejumlah lokasi pada 2017 menambah dari enam gudang yang dibangun tahun 2016. Keenam gudang untuk komoditas garam yang dibangun pada 2017 antara lain terletak di Brebes, Demak, dan Rembang (ketiganya di Jawa Tengah).
Selain itu, gudang baru lainnya yang juga dibangun pada tahun yang sama adalah di Sampang dan Tuban yang terletak di Jawa Timur, serta di Kupang (NTT).
Pada 2016, gudang untuk produksi garam rakyat telah terbangun di Cirebon dan Indramayu yang terletak di Jawa Barat, Pati (Jateng), Pamekasan (Jatim), Bima (NTB), dan Pangkep (Sulsel).
Berbagai gudang yang dibangun itu menggunakan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI), serta anggaran yang dialokasikan untuk membangun gudang berkapasitas sekitar 2.000 ton bisa mencapai sekitar Rp2 miliar per gudang.

Selain enam gudang yang telah menggunakan sistem resi gudang tersebut, juga telah terbangun 10.385 meter jalan produksi dan tersalurkannya 489 ribu meter persegi geomembran (inovasi yang dinilai dapat membantu produksi garam) di 14 kabupaten/kota.
Rapat gabungan Dalam salah satu kesimpulan rapat kerja dengan KKP, Komisi IV DPR RI berencana untuk membuat rapat gabungan dengan Komisi VI DPR RI dan berbagai kementerian serta lembaga terkait dalam rangka untuk membahas mengenai permasalahan kontroversi impor garam.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Michael Wattimena mengatakan, Komisi IV DPR akan melakukan rapat gabungan dengan Komisi VI DPR RI, bersama dengan Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenko Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pusat Statistik, dan PT Garam.

Michael memaparkan rapat gabungan yang masih belum ditentukan jadwalnya tersebut adalah dalam rangka membahas kebijakan impor garam yang telah diputuskan pemerintah.
Keputusan lainnya adalah Komisi IV DPR RI menolak dilakukan impor garam tanpa rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan sesuai amanat Pasal 37 UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Sementara itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan, keharusan impor komoditas garam tidak bisa dilepaskan dengan kualitas produksi garam yang dihasilkan oleh para petani lokal di Tanah Air. Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi menuturkan, selain kualitas, harga garam lokal juga dinilai lebih mahal daripada garam impor, sedangkan kualitas dari produksi petani garam masih berada di bawah garam impor.

Alih Profesi

Impor garam, menurut pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim, juga dicemaskan dapat mendorong alih profesi dari petambak garam di berbagai daerah.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, kebijakan impor garam adalah fakta yang sangat memilukan hati petambak garam nasional.
Abdul Halim juga berpendapat bahwa impor pangan menunjukkan bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan aktivitas tahun politik 2018 dan 2019.

Untuk itu, Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Misbachul Munir menginginkan Presiden Jokowi menerbitkan Inpres mengenai swasembada garam untuk memperbaiki tata kelola garam nasional.
KNTI, seperti diulas Antara, mengingatkan bahwa untuk mewujudkan swasembada garam yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah dengan memberikan kepastian usaha pergaraman sebagai mandat UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Senada dengan itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan intervensi guna menyelesaikan permasalahan garam di Tanah Air yang selama bertahun-tahun ini terus menghantui sektor kelautan nasional.
Sekjen Kiara Susan Herawati menegaskan, garam adalah urusan strategis, dan dengan kewenangan yang dimiliki, Presiden harus secepatnya turun tangan membereskan persoalan yang dinilai terkait dengan ego sektoral ini.
Salah satu permasalahan ego sektoral, ujar Susan, adalah terkait dengan adanya perbedaan data garam nasional yang dimiliki oleh sejumlah kementerian yang menjadi dasar kebijakan impor garam sebanyak 3,7 ton tahun 2018, seharusnya sudah tidak terjadi lagi.
Susan berpendapat perbedaan data garam nasional terus menerus terjadi di level pengambil kebijakan tanpa ada keinginan kuat untuk segera menyelesaikan bersama.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*