Jakarta, Agrifood.id – Pelaku industri pengolahan gula mentah (GM) untuk gula kristal rafinasi (GKR) mengajukan tambahan kuota impor tahun ini guna memenuhi kebutuhan stok awal tahun depan.
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Rachmat Hariotomo mengatakan sejumlah perusahaan pengolahan GM untuk GKR telah meminta tambahan kuota impor pada semester II/2019.
Namun, dia belum dapat menyebutkan berapa besaran volume kuota impor tambahan yang dibutuhkan industri gula rafinasi.
“Untuk volume tambahannya masih kami bahas bersama Kementerian Perindustrian serta industri makanan dan minuman. Beberapa dari anggota AGRI sudah meminta tambahan impor untuk buffer stock (stok penyangga) 2020,” jelasnya kepada Bisnis.com, pekan lalu.
Adapun, pada paruh kedua tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor GM untuk GKR mencapai 1,25 juta ton. Sementara itu, pada semester I/2019 izin impor yang diterbitkan pada semesteri I/2019 mencapai 1,55 juta ton.
Dia mengatakan, selama semester I/2019 industri pengolahan GM untuk GKR telah merealisasikan seluruh izin impor yang diterbitkan pemerintah. Sepanjang paruh pertama tahun ini, rata-rata realisasi impor GM untuk GKR mencapai 290.000 ton per bulan. Sementara itu, untuk semester II/2019 masih menghitung total realisasi impor GM untuk GKR hingga September lalu.
Menurut dia, industri gula rafinasi biasa menyiapkan stok tiap awal tahun. Langkah itu untuk mengantisipasi terlambatnya izin impor dari pemerintah yang biasa terjadi pada awal tahun.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengaku masih melakukan perhitungan mengenai kebutuhan gula rafinasi oleh industri makanan dan minuman (mamin) hingga akhir tahun.
Adhi mengaku tidak menutup kemungkinan, permintaan gula rafinasi dari industri mamin akan melampaui kuota impor GM untuk GKR yang disediakan pemerintah tahun ini yang mencapai 2,8 juta ton. “Sampai bulan ini, pasokan dari perusahaan gula rafinasi masih lancar. Namun, kita belum tahu untuk sisa tahun ini bagaimana, sebab rata-rata kebutuhan industri mamin mencapai tiap bulannya mencapai 250.000 ton—300.000 ton,” ujarnya.
Dia juga mengamini perusahaan industri gula rafinasi harus memiliki stok tiap awal tahun. Hal itu untuk menjaga pasokan gula rafinasi kepada industri mamin tetap lancar ketika izin impor GM untuk GKR dari pemerintah terlambat diterbitkan.
Adhi menambahkan, dengan asumsi pengadaan stok awal tahun, kuota izin impor GM untuk GKR untuk tahun ini yang mencapai 2,8 juta ton dipastikan di bawah kebutuhan industri. Terlebih, kuota izin impor yang disediakan pemerintah pada tahun ini dipangkas dari kuota yang disediakan pada 2018 yang mencapai 3,15 juta ton.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengaku belum mendapatkan informasi dari industri gula rafinasi mengenai permintaan tambahan kuota izin impor GM untuk GKR pada semester II/2019.
Dia mengatakan rekomendasi impor GM untuk GKR semester II/2019 yang dikeluarkan Kemenperin mencapai 1,25 juta ton, sesuai keputusan rapat koordinasi (rakor) di Kemenko Perekonomian awal tahun ini.
“Pada dasarnya rekomendasi impor GM untuk GKR masih dapat disesuaikan tiap tahunnya dengan memperhitungkan kebutuhan industri. Namun, untuk memutuskan apakah pemerintah mengakomodasi kebutuhan industri tersebut harus melalui rakor di Kemenko,” jelasnya.
Pekan sebelumnya, Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (APEGTI) Provinsi Kepulauan Riau, Nurbaini Bagindo menengarai gula rafinasi banyak beredar di Kepri. Selain dijual bebas di pasar-pasar tradisional, sejumlah oknum tak bertanggung jawab juga mengoplosnya dengan gula biasa.
”Gula rafinasi tersebut berukuran lebih halus dibanding gula biasa. Bila dicampur relatif sulit diketahui,” ujar Nubaini seperti dilansir Batampos.co.id.
Berdasarkan pantauan APEGTI, distributor lebih suka menjual gula rafinasi atau yang oplosan dengan gula lokal karena harganya lebih murah, sekitar Rp 5.500-Rp 6.000 per kilogram (kg). Sementara harga gula biasa atau gula lokal mencapai Rp 12.500 per kg.
”Dan ada juga pedagang yang menjual gula rafinasi seharga yang sama dengan gula biasa. Keuntungan yang didapatkan tentunya juga akan lebih besar,” katanya lagi .
Dia menegaskan, perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pengusaha importir gula rafinasi telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 pada pasal 7 tentang Perdagangan. Atau pasal 142 junto pasal 39 UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman lima tahun penjara. [AF-05]
agrifood.id // agrifood.id@gmail.com
Be the first to comment