Bogor, AF – Kebutuhan tepung tapioka di Tanah Papua sebenarnya cukup tinggi. Untuk Provinsi Papua (sebelum pemekaran) diperkirakan belanja tepung tapioka per tahun mencapai Rp 100 miliar. Ironisnya, Tanah Papua punya potensi singkong (kasbi) yang bisa diolah jadi tepung tapioka.
Informasi yang dihimpun Agrifood.id menyebutkan bahwa penggunaan tepung tapioka terus meningkat untuk berbagai konsumsi rumah tangga. Mulai dari kue, roti, mie, hingga berbagai olahan lainnya.
Sebagian besar tepung tapioka itu didatangkan dari luar Papua, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan Rp 100 miliar tersebut berarti kebutuhan tapung tapioka mencapai 7.000 – 8.000 ton per bulan untuk wilayah Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan. Belanja tapioka akan semakin besar jika ditambah dengan wilayah Papua Barat. Selain tapioka, bisa saja ditambah dengan tepung modified cassava flour (mocaf).
Baca : Bank Aceh Lirik Sektor Pertanian, Singkong Masuk Pembiayaan
I Made Budi, praktisi teknologi pangan dan pengajar Universitas Cenderawasih, Jayapura, mengatakan angka Rp 100 miliar itu bisa dimaklumi dan masuk akal. “Dalam sebuah diskusi sebelum pandemi Covid-19, ada instansi yang melontarkan angka tersebut. Jadi sangat wajar dan bisa dikonfirmasi ke Badan Pusat Statistik atau Bank Indonesia,” kata Made, usai webinar yang digelar Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) pekan lalu.
Baca : Berhasil di Sukabumi, MSI Siap Produksi Benih Singkong Bersertifikasi
Webinar dipandu Sekjen DPN MSI Heri Soba dan dibuka oleh Wakil Ketua MSI yang juga pakar singkong dari Universitas Jember Prof Soebagio. Selain I Made Budi, webinar juga menghadirkan Dr Aser Rouw selaku Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Papua Barat, Kementerian Pertanian, dan drh Olan Sebastian yang merupakan praktisi kesehatan hewan/peternakan.
Menurut Made, tingkat konsumsi tapioka tersebut terus meningkat sejalan dengan kebutuhan dari masyarakat Papua. Apalagi, di beberapa daerah, produksi papeda juga dicampur dengan tepung tapioka. “Ini yang membuat kebutuhan tapioka terus meningkat, tetapi belum bisa dipenuhi sendiri,” ujarnya.
Wakil Ketua DPN MSI Helmi Hasanudin mengatakan semua wilayah Papua seharusnya bisa menjadi basis produksi tapioka. Potensi lahan dan budaya masyarakat yang akrab dengan singkong merupakan faktor pendukung. Selain memenuhi kebutuhan sendiri, Papua pun bisa menjadi pemasok kebutuhan tapioka nasional.
“Tinggal produksi ditingkatkan sehingga bisa memenuhi skala ekonomi yang layak. Daripada uang Rp 100 miliar dibawa keluar Papua, sebaiknya dioptimalkan agar bisa mandiri dan menjadi produsen tapioka nasional,” jelas Helmi.
Sementara itu, Aser Rouw mengatakan potensi bibit atau plasma nutfah kasbi (singkong) dari Papua sangat besar. Pihaknya baru sudah melakukan sejumlah kajian dan uji coba terkait berbagai jenis singkong di Papua Barat.
“Ternyata ada beragam jenis singkong dengan berbagai variannya yang khas Papua. Itupun kami baru kaji dari dataran rendah Papua Barat, seperti Manokwari dan sekitarnya. Ini belum termasuk di wilayah dataran tinggi, seperti Kebar-Tambrauw,” katanya.
Aser mengatakan kajian terkait singkong itu akan terus diperluas karena ada beberapa jenis yang berumur pendek. “Ada jenis yang empat bulan sudah bisa dipanen. Ini yang perlu diperluas lagi terkait peruntukannya, bisa jadi cocok untuk tapioca,” ujarnya.
Dia menjelaskan, selain untuk melestarikan potensi plasma nutfah, kesadaran konsumsi singkong juga harus ditingkatkan sebagai pangan lokal. “Kasbi itu sudah menyatu dengan masyarakat Papua, tinggal perlu lebih dikembangkan,” tegasnya. [AF-03]
Advertorial
IPBCommunication melayani berbagai jasa, seperti komunikasi (government/ community/private), media/public relation, promosi, business intelligent, analisis media hingga crisis management. Didukung dengan tim profesional, berpengalaman luas dalam komunikasi dan pernah berkarir di sejumlah media nasional/internasional. Info lebih rinci bisa hubungi 081356564448 atau agrifood.id@gmail.com.
Be the first to comment