Mitigasi Perubahan Iklim Atasi Ancaman Produksi Kopi

Jakarta, Agrifood.id – Kopi merupakan komoditas sangat tergantung pada suhu dan curah hujan sehingga rentan terhadap perubahan iklim. Ancaman itu bisa diantisipasi dengan melakukan mitigasi perubahan iklim dengan melibatkan semua pihak mulai dari produsen, industri dan konsumen kopi.
Laporan Katalog Iklim yang disusun bersama oleh IDH, Conservation International, Global Coffee Platform, HRNS Coffee Climate Initiative dan Specialty Coffee Association tahun 2019 lalu. Kajian itu menganalisa dampak iklim di sektor kopi pada 15 negara yang mewakili 90% produksi kopi global di Amerika, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia. Laporan itu menekankan perubahan iklim sangat berpengaruh nyata terhadap sektor kopi.

“Perubahan iklim, seperti kenaikan suhu, curah hujan yang tidak teratur, kekeringan dan badai telah mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Apalagi, tanaman kopi di Indonesia sudah tergolong tua, banyaknya persebaran hama dan penyakit, juga praktik bertani yang tak lagi sesuai semakin menambah kerentanan kopi pada prubahan iklim,” ujar Melati, Program Manager Commodities and Intact Forest, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) dalam diskusi tentang kopi, Selasa (8/12/2020).

Diskusi juga menghadirkan Niels Haak selaku Senior Manager Sustainable Coffee, Conservation International; Jeni Pareira sebagai Sustainable Landscape Program Manager, Wildlife Conservation Society Indonesia; lalu Chriesna Cutha Raditra, Master Trainer SCOPI, yang bekerja di Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang; serta Manu Jindal, Sustainability Project Manager, Nestle Nespresso SA.

Disebutkan ada lima tantangan akibat risiko iklim yang ditemui di setiap negara penghasil kopi. Kelima tantangan itu adalah kehilangan area lahan dan perlunya berpindah ke lahan yang lebih cocok, meningkatnya kebutuhan air, proses pembungaan dan perkembangan biji kopi yang terganggu, meningkatnya persebaran hama dan penyakit tanaman, serta meningkatnya kerentanan bagi petani kecil dan petani perempuan. Jika tidak segera ditangani, maka dapat mengancam kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat yang bergantung pada sektor kopi.

Baca : Ini Komitmen Perusahaan Kopi Dunia Cegah Deforestasi di Indonesia

Di sisi lain, sektor kopi di Indonesia sangat berpotensi untuk dibenahi agar memiliki ketahanan terhadap iklim. Beberapa faktor pendukung termasuk kondisi alam Indonesia yang dapat diperbaiki untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK), melalui program perhutanan sosial dan rehabilitasi lahan.
“Meskipun perubahan iklim mengancam mata pencaharian produsen kopi di seluruh Indonesia serta meningkatkan risiko degradasi lingkungan, namun ada kesempatan yang luas untuk mengubahnya dengan membuka potensi kopi sebagai solusi perubahan iklim yang berbasiskan alam. Arahan penting untuk mewujudkan potensi ini adalah dengan meningkatkan tutupan pohon di kebun kopi, misalnya dengan mempromosikan dan mengaktifkan sistem produksi wanatani atau agroforestry. Untuk mencapai hal ini, kerja sama yang baik di antara para pemangku kepentingan skala lokal, nasional maupun global, sangat penting,” katanya.

Adapun upaya mitigasi iklim di sektor kopi tersebut bisa dilihat dalam kemitraan kopi berkelanjutan, seperti digagas Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia yang berkolaborasi dengan 28 kelompok tani dari delapan desa di kawasan utara Bukit Barisan Selatan (BBS). Komitmen mereka ditunjukkan dengan penandatanganan kesepakatan awal ‘BBS KEKAL’ untuk meningkatkan praktik keberlanjutan produksi kopi dan tidak menyusup ke kawasan hutan atau membeli dan menjual lahan di kawasan Taman Nasional.

“BBS KEKAL (Bukit Barisan Selatan Kemitraan Komoditas Lestari) merupakan kerja sama antara pemerintah daerah dan pusat, perusahaan kopi, masyarakat, masyarakat sipil dan Balai Taman Nasional. Ini menunjukkan kolaborasi dan komitmen antarpemangku kepentingan untuk meningkatkan produksi kopi sekaligus melestarikan alam. Melalui program ini, kami mendukung otoritas pengelola Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai pendorong yang kuat untuk menghentikan deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan pengembangan kopi robusta di lanskap bebas deforestasi,” jelas Jeni Pareira.

Baca : Wisata Singkong Sentul, dari Olahraga Santai hingga Paham Tapioka dan Onggok

Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (Yayasan IDH) yang menggelar diskusi merupakan fasilitator kemitraan publik dan swasta untuk mentransformasi rantai pasok yang sebelumnya hanya berorientasi pada profit menjadi usaha yang memiliki dampak lingkungan dan sosial. Yayasan IDH berperan sebagai pemain aktif untuk mewujudkan perubahan tersebut melalui tujuh program lanskap dan rantai nilai (kopi, kakao, budidaya perikanan, kayu, karet dan rempah-rempah) di Indonesia yang tersebar dari Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Papua dan Papua Barat. [AF-03]

agrifood.id || agrifood.id@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*