Jakarta – Harga lada di sejumlah sentra produksi anjlok dalam beberapa pekan terakhir, seperti di Sambas, Kalimantan Barat dan beberapa wilayah di Lampung dan Bangka Belitung. Turunnya harga tersebut diduga akibat turunnya harga komoditas tersebut di pasar global.
Akademisi Politeknik Negeri Sambas (Poltesa), Kalimantan Barat, Yuliansyah SE MM, menilai anjloknya harga komoditas lada dipengaruhi permintaan pasar dunia.
“Secara makro lada masuk jenis komoditas pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia sehingga tidak bisa dihindari harganya pun tergantung harga pasar,” ujarnya.
Dia menambahkan kondisi harga lada yang turun signifikan juga karena dari berbagai negara sudah menjadi penghasil seperti Vietnam.
“Produksi lada sekarang banyak sehingga hukum permintaan berlaku dan akibatnya harganya turun,” jelas dia seperti ditulis Beritasatu.com.
Padahal, kata Yuliansyah, dengan kondisi dolar AS yang saat ini menguat seharusnya harga lada ikut naik. Harga lada di tingkat petani di Sambas saat ini sudah mendekati Rp 50.000 per kilogram (kg). Sebelumnya, harga komoditas unggulan Sambas tersebut sempat mencapai Rp 80.000 – Rp 100.000 per kg.
“Harga lada saat ini anjlok hampir separuh. Ini tentu membuat pendapatan petani turun. Pada sisi lain harga pupuk tetap tinggi,” ujar satu di antara petani lada, Tinjo.
Sebenarnya, upaya menjaga stabilitas harga lada dunia juga sudah dirintis pemerintah Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam. Sebagai produsen utama, kedua negara sepakat untuk menjaga stabilitas harga lada di pasaran internasional. Kesepakatan itu dicapai pada pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Republik Sosialis Vietnam Nguyen Phu Trong di Istana Merdeka, Jakarta, pada 23 Agustus 2017 lalu.
“Sebagai negara kunci yang juga produsen utama lada dan karet di dunia, kita juga bersepakat untuk mengambil langkah konkret dalam pengelolaan, menjaga stabilitas harga, meningkatkan kualitas kedua komoditas tersebut,” kata Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers bersama Phu Trong.
Indonesia merupakan negara penghasil lada terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Pada 2013, produksi lada Indonesia mencapai 88.700 ton atau menguasai 18,8 persen pangsa pasar dunia.
Sedangkan Vietnam kini tercatat sebagai produsen lada terbesar di dunia yang menguasai 34,5 persen total produksi dunia. Pada 2013, total produksi lada Vietnam sebesar 163.000 ton dengan luas lahan sekitar 51.000 hektare.
Pada 2015, total impor lada dunia mencapai US$ 3,3 miliar dengan kenaikan rata-rata per tahun 15,6 persen selama 2012-2015. Amerika Serikat merupakan importir lada terbesar dengan pangsa 22,8 persen terhadap total impor.
Kini, setahun setelah kesepakatan antara kedua negara, harga lada masih belum stabil. Untuk itu, perlu ada sejumlah terobosan lagi sehingga kesepakatan tersebut menjadi efektif. Dua pekan silam, Joko Widodo mengunjungi Vietnam. Sayang, komoditas lada yang pernah dibahas tidak menjadi agenda dalam kujungan tersebut.
Di tengah kondisi tersebut, beberapa daerah produsen terus berupaya menahan anjloknya harga lada. Salah satunya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama dengan para eksportir yang terus berusaha mencari solusi terkait permasalahan lada dalam rangka memotivasi para petani lada di daerah itu.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman di Pangkalpinang, Kamis, pekan lalu menggelar focus group discussion (FGD) bersama pihak eksportir lada terkait permasalahan lada Babel.
“FGD ini kami laksanakan untuk memperoleh masukan maupun informasi mengenai permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha atau eksportir lada. Kami juga meminta masukan dari mereka untuk secara bersama-sama mencari solusi terbaik untuk memotivasi para petani,” ujarnya.
Dia a berharap hasil diskusi dalam FGD tersebut akan menjadi bahan masukan bagi Pemprov Babel dalam menentukan kebijakan strategis guna mengembalikan kejayaan Muntok White Pepper yang telah lama dikenal dunia sejak dulu kala.
“Lada Babel merupakan anugerah Yang Maha Kuasa bagi Provinsi Babel, sehingga harus dipertahankan dan harus ada sinergisitas antara Pemprov Babel dengan berbagai pihak, termasuk pihak swasta dalam rangka meningkatkan kualitas dan mutu lada Babel,” katanya.
Dia juga berharap melalui FGD tentang lada Babel dapat menjadi bahan kajian Pemprov Babel untuk mengetahui kondisi nyata tentang dinamika sektor unggulan Babel ini. [AF-04]
Be the first to comment