Banyak sekali masakan Indonesia menggunakan bawang merah. Tanaman ini berkembang menjadi komoditas yang sangat berpengaruh terhadap pertanian di Indonesia. Bersama cabai, bawang merah menjadi salah satu komoditas yang mempengaruhi inflasi. Adapun daerah penghasil utama bawang merah di Indonesai adalah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Keempat provinsi ini menyumbang sekitar 85,33% dari total produksi bawang merah Indonesia.
Produksi bawang merah yang sangat rentan mengalami kerusakan pada musim hujan menyebabkan kebutuhannya sering tidak terpenuhi sehingga harga menjadi tinggi. Lonjakan harga menyebabkan petani berlomba-lomba menjual persedian bawang merah, termasuk yang diperuntukkan sebagai bibit. Kondisi ini menyebabkan pada awal musim penanaman, yaitu setelah musim hujan, pasokan bibit sangat terbatas. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi karena semua bibit yang bagus sudah dijual saat harga bawang merah tinggi pada musim hujan. Pada saat inilah, pemerintah membuka kesempatan impor bibit bawang merah.
Masyarakat Indonesia terbiasa menanam bawang merah dengan umbi hasil panen sebelumnya ataukah umbi seleksi yang dibeli dari penangkar atau petani lainnya. Umbi tanam ini rentan terinfeksi oleh penyakit bawaan umbi (tuberborne desease). Penyakit umbi menyebabkan produktifitas umbi turun dari waktu ke waktu. Bagi pengguna umbi tanam, penting sekali menggunakan umbi yang terseleksi agar hasil panennya bagus. Bagaimana jika persediaan umbi habis?
Dari Bunga ke Biji
True shallot seed (TSS) adalah salah satu cara baru menanam bawang merah. Berbeda dengan cara konvensional menggunakan umbi, metode bibit yang digunakan dalam pola TSS adalah biji yang diperoleh dari bunga bawang merah. Cara baru ini diperkenalkan secara komersil oleh produsen benih Cap Panah Merah yang berlokasi di Purwakarta. Sayangnya, respons masyarakat dengan model ini sangat rendah. Padahal, produktivitasnya sangat tinggi.
Ada beberapa hal yang menjadi penghambat perluasan technologi ini. Salah satunya adalah para pedagang bawang merah. Penggunaan bibit TSS dilihat sebagai saingan antarpedagang bibit umbi sehingga tidak ada yang tertarik. Alasan lainnya, cara penanaman yang baru menyebabkan tingkat kegagalan yang tinggi. Para petani terbiasa dengan umbi yang besar dan daya tahan yang lebih baik karena sumber nutrisi awal tanaman sudah ada pada umbi. Biji yang kecil dan dianggap rentan juga menjadi kendala tersendiri.
Beberapa orang petani mempersoalkan waktu tanam yang lebih lama. Kalau dengan umbi sudah bisa dipanen dalam waktu 60 hari, maka dengan TSS harus menunggu sampai 90-105 hari baru bisa dipanen. Waktu yang lama ini akan merugikan, apalahi jika petani menyewa lahan sehiingga ada tambahan biaya lagi. Di sisi lain, ada yang lain mempersoalkan ukuran umbi yang besar dan cenderung tunggal yang ditolak beberapa pedagang. Demikian juga daya simpan yang pendek juga kendala tersendiri.
Cerita bawang biji yang pernah didengungkan akan memberikan manfaat dan keuntungan lebih bagi para petani pun akhirnya meredup. Timbul wacana kalau technologi ini mau ditinggalkan karena kompleksitasnya yang tinggi dan penjualan yang terus merosot. Tahun 2012 merupakan titik balik dari pengenalan TSS. Dimulai dengan ide menciptakan para penangkar di wilayah Lombok Timur, Sumawa Besar dan Bima, NTB, yang nantinya menyemai dan menanam umbi generasi pertama dari hasil penanaman biji (disebut G0) dan seedling. Perlahan-lahan, semakin banyak petani yang tertarik untuk mencobanya. Salah seorang penangkar itu bernama Sumiadi, yang biasa dipanggil Pak Sum. Dia juga petani cabai dan tomat yang bisa menjadi penyemai bibit. Dia tinggal di sebuah desa kecil di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur. Sejak akhir 2015, Sum mulai fokus menyemai (seedling) anakan bawang merah dari biji sekaligus untuk memotong mata rantai penanaman bawang.
Biji bawang pun disemai hingga berusia 45 hari sebelum dijual. Masa awal ini adalah titik kristis dan beresiko tinggi. Seedling yang dihasilkan ini hanya butuh 60 hari penanaman untuk dapat dipanen petani. Perlahan-lahan pesanan bibit dari Pak Sum bertambah. Bukan hanya dari Lombok Timur, tetapi juga dari Sumbawa (NTB), hingga melebar ke wilayah Jawa dan Sulawesi. Seiring waktu, beliau juga melakukan eksperimen dengan berbagai media tanam dan input untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Teknologi penanaman bawang dengan biji ini kemudian menyebar dan memenuhi kebutuhan petani pada masa-masa tertentu yang tidak dapat dipenuhi pasar. Pemerintah melalui
Kementrian Pertanian pun semakin aktif menggerakkan para peneliti untuk mengembangkan teknologi ini. Peluang usaha bawang merah dari biji ini terus berkembang dengan masuknya beberapa perusahaan bibit besar di Indonesia yang mengembangkan bibit biji varietas masing-masing. Produktifitas yang tinggi, penyimpanan yang lebih mudah, ketersediaan yang terjamin dan harga yang stabil, merupakan keunggulan bawang biji yang memberikan kontribusi besar dalam dunia perbawangan di Indonesia. Terimakasih buat Pak Sumiadi dan teman-teman penangkar bawang biji di NTB yang telah membantu mempertahankan dan mengembangkan teknologi ini.
(Dikisahkan oleh Robert Raya yang pernah mendampingi petani bawang merah di NTB. Kini menjadi pengamat agribisnis dan menetap di Sydney, Australia).
Be the first to comment