Tan Malaka dan Sisi Lain Mahasiswa IPB

Para peserta Serial Diskusi Nusantara (SDN) tengah membahas pemikiran Tan Malaka di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat (Ist)

Judul diatas sebenarnya biasa saja bagi khalayak umum karena pada 21 Februari lalu sejumlah pihak merayakan Silatnas Tan Malaka. Namun, hal itu menjadi ‘sedikit’ luar biasa bagi kalangan yang memahami atau setidaknya mengikuti perkembangan Institut Pertanian Bogor (IPB), lebih khusus lagi terkait aktivitas mahasiswanya. Salah satu yang sempat membuat IPB mencuat lagi ke publik adalah ketika Presiden Joko Widodo mengkritik banyak lulusan IPB yang bekerja tidak sesuai bidangnya. Apakah kritikan Jokowi tersebut terkait dengan judul diatas? Entahlah, silahkan disimpulkan sendiri secara bebas.

Di tengah berbagai sorotan terhadap IPB, sejumlah mahasiswa sudah rutin menggelar Serial Diskusi Nusantara (SDN) membahas tema-tema yang kritis dan menarik sebagaimana beberapa diskusi yang sudah digelar forum ini sejak 10 tahun silam. SDN sebagai wahana pembelajaran bersama (budaya literasi) bagi seluruh partisipan diskusi mengusung tiga nilai dasar yaitu, egaliter, respect, dan responsibility. Tujuan SDN sendiri adalah meningkatkan kemampuan mengakses literatur, latihan membangun argumen yang logis dan rasional, serta menguatkan pemahaman dan kerangka pikir terhadap suatu konteks atau permasalahan tertentu.

Dalam SDN Seri ke-93 pada Sabtu (3 Maret 2018) lalu, tema yang diangkat adalah ‘Memotret Pendidikan di Era Milenial dari Sudut Pandang Bapak Republik’. Audelia Thalita Ramadhanti, mahasiswa semester 4 dari Fakultas Kehutanan ini mencoba menggali pemikiran Tan Malaka. Dalam pandangan Audy, demikian dia dipanggil, institusi pendidikan formal (tingkat dasar-perguruan tinggi) baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta cenderung berorientasi pada materi (uang). Institusi dan dasar pendidikan terpusat pada membentuk peserta didik untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan hasil pekerjaan yang baik. Kerangka pikir itulah, dalam pandangan para peserta diskusi SDN, membelenggu peserta didik yang kemudian berorientasi hanya pada materi (uang) dan individualistik. Di sisi lain, mengabaikan proses pembentukan karakter sebagai “subyek” yang mempunyai empati terhadap sesama atau berempati pada kaum yang termarjinalkan. Dengan kata lain adalah memanusiakan manusia yang pada era 1960-an sudah dikenal dengan amanat penderitaan rakyat (Ampera).

Berangkat dari konteks itulah, Audy mengkhawatirkan “pionir-pionir muda” tidak lagi memiliki kepekaan sosial, tidak lagi memegang nilai budaya dan falsafah bangsa. Padahal, generasi muda yang kritis sangat diperlukan untuk mengkoreksi kembali sistem pendidikan agar kembali pada “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Salah satu strategi yang dapat dilakukan melalui membaca kembali naskah-naskah para pendiri bangsa, termasuk Bapak Republik Tan Malaka, atau aktif dalam forum-forum diskusi bertema kebangsaan.

Mengapa Audy dipilih untuk membedah pemikiran Tan Malaka? Sebagai pembaca naskah Tan Malaka sejak SMP, Audy memandang pemikiran Datuak Sutan Malaka tentang pendidikan masih relevan terhadap situasi saat ini. Tan Malaka telah meletakan pendidikan sesuai karakteristik kondisi ketimuran dan berorientasi kerakyatan. Berpihak pada rakyat yang mengalami kemiskinan dan kemelaratan (ter/di-marjinalkan). Pria yang fasih banyak bahasa asing itu juga menekankan pentingnya setiap individu terbentuk kesadarannya untuk mentransformasi nilai kemanusian dan pengetahuan terhadap generasi selanjutnya. Jadi, generasi penerus dapat menjadi pendidik yang lebih maju bahkan kemampuannya dapat melebihi generasi sebelumnya. Untuk itu, Tan Malaka dapat dikatakan sebagai salah satu peletak dasar “pendidikan kerakyatan” atau pedagogi transformatif.

Sebagaimana diketahui, salah satu langkah Tan Malaka mengembangkan pendidikan ditunjukannya dengan membangun Sarekat Islam (SI) School di Semarang pada tahun 1921. Itu merupakan perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif sekaligus menopang perjuangan kemerdekaan. Singkat kata, putra Minang yang ditetapkan Soekarno sebagai pahlawan nasional ini menjadi sumber pembelajaran dan pengetahuan. Lebih khusus lagi bagi para “pionir-pionir muda”, terutama di IPB. Dalam konteks kekinian, daya kritis para mahasiswa IPB tersebut terkait pendidikan dan perjuangan Ampera tersebut berkorelasi erat dengan dunia pertanian atau pangan dalam arti luas. Sekalipun, sulit membayangkan wacana itu ketika masih ada puluhan bahkan ratusan mahasiswa yang terkendala soal biaya dan urusan makanan sehari-hari sehingga perlu subsidi, seperti Kantin Murah IPB dari komunitas Linkers.  Sebaliknya,  ada yang menilai di tengah serba kekurangan itulah daya kritis dan kreativitas mahasiswa berkembang. Pemeo yang bisa benar dan sekaligus salah.

Saat-saat ini, tentu tidak mudah mengajak semua jajaran yang terkait IPB untuk menyongsong perubahan tersebut. Audy dan 30-an peserta diskusi atau juga ratusan simpatisan SDN menjadi harapan besar untuk mengembalikan kiblat IPB pada pendidikan yang ‘benar’ dan kebijakan pertanian yang lebih merakyat.  Semoga, alumni-alumni muda IPB yang bersinggungan dengan SDN semakin banyak terjun ke pedesaan atau memperjuangkan pertanian dalam arti luas. Paling tidak bisa berkontribusi sesuai kemampuan dan kapasitas sehingga seorang Jokowi tidak lagi kesulitan meningkatkan daya saing menuju kedaulatan pangan. (disarikan dari forum SDN/Niechi V/Heri SS).

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*