
Bogor, Agrifood.id – Wabah demam babi Afrika (African Swine and Fever/ASF) masih menjadi ancaman bagi para peternak babi di Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan meningkatkan biosecurity untuk mencegah kematian pada ternak babi.
Demikian salah satu pembahasan dalam diskusi online Medion, Selasa (29/9/2020) lalu, dengan tema Mari Jaga Kitong Oung Babi dari Penyakit ASF. Diskusi menghadirkan Technicak Education & Consultation Medion, Astuti Cipardani, dan dipandu oleh Senior Business Consultant Prisma, Const Joel Tukan. Sekalipun Plt Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT Artati Loasana tidak sempat memberikan sambutan pembuka, sejumlah jajaran dari Dinas Peternakan Provinsi NTT dan beberapa kabupaten juga hadir secara online. Adapun ratusan peternak di NTT, Bali, dan Sumatera Utara aktif mengikuti diskusi tersebut.
Baca : Kerugian Hog Cholera Setara dengan Pendapatan Pajak NTT Tahun 2013
Mengawali diskusi, Joel Tukan menjelaskan dampak dari virus ASF cukup luas dan sangat terasa di tingkat peternak. Apalagi, tingkat kematian babi akibat virus tersebut mencapai 100%. Namun, hal itu tidak berarti bahwa tidak ada lagi upaya untuk menyelamatkan ternak babi yang masih sehat. Untuk menekan tingkat kematian tersebut maka dibutuhkan kerja sama dari semua pihak sehingga bisa menerapkan sistem biosecurity yang ketat.
Biosecurity tersebut merupakan upaya meminimalkan jumlah bibit penyakit dan mencegah ternak terinfeksi dengan berbagai sistem perlindungan. Sejumlah data memperkirakan sekitar 50.000 ekor babi mati pada akhir Juni 2020 lalu dan jumlah itu terus bertambah hingga akhir September ini.
Astuti menguraikan ada beberapa gejala klinis babi yang sudah terinfeksi virus ASF. Diantaranya, demam tinggi, kondisi lesu/lemah, nafas terengah-engah, hidung keluar lendir dan darah. “Ada juga berupa tanda kemerahan sekitar kulit telinga, perut, pantat, dan sekitar ekor. Biasanya diikuti dengan muntah dan induk yang sedang hamil akan keguguran,” jelasnya.
Baca : Sosialisasi di Perbatasan Timor Leste, Segera Laporkan Babi yang Mulai Sakit
Untuk pencegahan, kata Astuti, perlu dilakukan pengendalian atas lalu lintas peternakan antardaerah. Kemudian semua ternak babi harus dikandangkan, lalu membatasi lalu lintas orang, alat angkut dan pembatasan peralatan ke kandang. “Jadi ini merupakan upaya untuk menjaga kawasan kandang tetap steril dan terhindar dari berbagai hal yang bisa menjadi pembawa virus,” katanya seraya menjelaskan produk obat-obatan Medion untuk mencegah virus ASF pada babi.

Salah satu cara yang bisa dilakukan juga adalah melakukan karantina babi yang baru didatangkan dari tempat lain selama 30 hari dan dipantau kesehatannya. “Karantina dilakukan secara terpisah dengan babi yang sudah ada dalam kandang. Setelah 30 hari dan dipastikan babi yang baru datang masih sehat, baru digabung dengan babi yang lainnya,” paparnya.
Joel menambahkan kesadaran untuk menerapkan biosecurity sangat diperlukan dari para peternak, pemilik, pekerja, pengunjung dan pihak-pihak yang terkait dalam ternak babi. Apalagi, babi merupakan salah satu komoditas andalan di NTT dan menopang ekonomi rakyat yang cukup luas.
“Penyebaran virus ASF yang begitu cepat, padahal NTT merupakan wilayah kepulauan. Untuk itu, pengawasan yang terkendali melalui biosecurity ketat sangat diperlukan untuk menyelamatkan ternak babi di NTT,” ujar jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. [AF-04]
agrifood.id || agrifood.id@gmail.com
Be the first to comment