Iklan Mulai Dibatasi, Industri Perlu Kurangi Kandungan GGL

JAKARTA, AF – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong industri pangan menurunkan kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) dalam berbagai produksinya. Langkah reformulasi itu juga akan diikuti dengan pembatasan waktu tayang, lokasi, dan sasaran iklan pangan. Hal tersebut untuk menekan peningkatan penyakit hipertensi, diabetes, dan serangan jantung.

“Kami mendorong industri pangan untuk melakukan reformulasi, yaitu menurunkan kandungan gula, garam, lemak dalam pangan sesuai batas yang telah ditetapkan,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Plt Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Yudhi Pramono dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja Pengawasan Produk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji dengan Kandungan Gula, Garam, Lemak Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (1/7/2024).

Selama ini, Kemenkes pun terus mengedukasi masyarakat melalui pesan sehat yakni pengonsumsian gula yang lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 200 mg, dan lemak yang lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko memunculkan penyakit hipertensi, diabetes, dan serangan jantung. Selain mendorong penurunan kandungan GGL, Kemenkes juga mendorong industri pangan Indonesia menyediakan lebih banyak makanan dan minuman dengan kandungan GGL yang rendah, baik di lingkungan sekolah, tempat kerja, supermarket, restoran, maupun ruang publik lainnya.

Berikutnya, Kemenkes juga melakukan edukasi mengubah perilaku dan kampanye diet sehat di media massa mengenai konsumsi makanan dan minuman yang lebih sehat. “Kemenkes juga mendorong penerapan labelling berupa Front of Pack Labelling pada setiap produk yang mengandung gula, garam, lemak,” ujar Yudhi.

Strategi lainnya, kata dia, Kemenkes juga menetapkan regulasi atau kebijakan mengatur kandungan GGL dalam pangan, menetapkan batas maksimum kandungan GGL dalam makanan dan minuman, serta menetapkan kebijakan fiskal pada makanan dan minuman untuk mengurangi konsumsi GGL berlebihan. “Kami juga mendorong pembatasan waktu tayang, lokasi, dan sasaran iklan pangan yang mengandung tinggi gula, garam, lemak,” ucapnya seperti dilansir Antara.

Sebelumnya, Yudhi telah menyampaikan kondisi konsumsi pangan mengandung GGL di Indonesia. Data dari GlobalData Q2 2021 Consumer Survey pada Juni 2021 menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tertinggi di Asia Pasifik. “Hal ini menjadi salah satu perhatian yang sangat penting untuk diintervensi dalam pengendalian konsumsi gula di Indonesia,” ucapnya.

Diketahui MBDK dapat berisiko meningkatkan kejadian obesitas, diabetes, hipertensi, dan kematian akibat penyakit jantung koroner. Selanjutnya, Yudhi menyampaikan pula bahwa Survei Konsumsi Makanan Individu dari Litbangkes pada 2014 menunjukkan rerata konsumsi garam penduduk Indonesia 2764 mg/orang/hari. Lalu, Survei Konsumsi Makanan Individu pada 2015 menunjukkan sebesar 27 persen penduduk Indonesia sudah mengonsumsi lemak total melebihi batas rekomendasi per hari atau sudah melebihi 67 gram per hari. [PR/AF]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*