AgriFood – Dewi S selalu menstok sekardus, dua kardus susu Ultra Mimi Kids untuk putra ketiganya, Radin. Stok susu kotak tersebut hanya cukup untuk jangka waktu dua minggu hingga sebulan. Sejak masuk Taman Kanak-Kanak (TK), putranya yang kini duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD) itu sudah tak mau lagi meminum susu formula yang setia dikonsumsinya sejak bayi.
“Katanya dia (Radin) udah bukan bayi lagi. Makanya enggak mau minum sufor (susu formula) pakai dot,” kisah ibu 44 tahun itu, Minggu (3/3/2024).
Namun, sebagai gantinya, Radin meminta dibelikan susu kotak UHT (ultra high-temperature). Permintaannya itu bermula ketika bocah berumur 9 tahun itu pertama kali mencoba susu Ultra Mimi Kids rasa stroberi. Katanya, ketimbang susu formula yang biasa dia minum, susu kotak lebih enak, ada rasanya plus lebih manis. Kini, Radin setidaknya meminum sekotak atau dua kotak susu Ultra Mimi Kids dalam sehari.
Meski Dewi paham betul susu kotak tak begitu baik untuk buah hatinya, namun ibu yang bekerja sebagai dokter umum di salah satu Puskesmas di Purworejo itu tak kuasa menolak permintaan Radin. Pasalnya, tidak seperti anak-anak pada umumnya, Radin tidak bisa mengonsumsi nasi atau karbohidrat kompleks lainnya seperti jagung, ubi, maupun roti gandum. “Kalau enggak minum susu juga kan anaknya enggak kenyang. Jadi ya udahlah, yang penting ada yang masuk. Kan susu kotak juga ada gizinya,” jelas Dewi.
Berbeda dengan Radin yang mengonsumsi susu kotak sebagai pengganti susu formula dan agar lebih kenyang, Bu Hasan memberikan susu kotak kepada putranya Davi karena dinilai lebih sehat dibanding jajanan warung lainnya. Sama seperti anak sebayanya, Davi pun doyan makanan ringan. Namun, karena bocah lima tahun itu gampang sakit, susu kotak dirasa lebih aman bagi kesehatan sang anak. “Makanya, kalau ke warung terus mau minta Chiki, itu saya enggak kasih. Langsung saya ambilin susu kotak yang gede itu. Untungnya sih anaknya nurut, jadi ya mau aja dikasih susu,” ujarnya.
Meski begitu, Bu Hasan membatasi konsumsi susu kotak Davi, paling tidak dua sampai tiga kotak seminggu. Alasannya bukan karena bahaya kesehatan yang mengintai, namun karena susu kotak cukup mahal, yakni sekitar Rp7.000 hingga Rp8.000 per kotak. “Halah, enggak mungkinlah susu kotak bikin diabetes. Kan itu susu, berarti sehat,” sanggah Bu Hasan.
Diabetes Anak Meningkat
Kepala Kebijakan dan Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda bilang, banyak orang tua yang masih belum menyadari bahaya diabetes di balik sekotak susu berperisa. Padahal, diabetes nyata mengancam anak-anak yang kini semakin mudah mengakses makanan dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Bagaimana tidak, menurut pengamatan CISDI, kandungan gula pada susu dalam kemasan mencapai 30% hingga 50% dari rekomendasi maksimal konsumsi gula tambahan harian oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Di mana konsumsi gula harian yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 50 gram atau setara dengan empat sendok makan per hari.
“Tidak diketahui data pastinya (berapa anak yang terkena diabetes tipe 2), tapi kalau (diabetes) tipe 2 kemungkinan besar dari makanan yang dikonsumsi. Bisa karena kandungan gula di produk susu kemasan yang di pasaran cukup tinggi,” beber Olivia.
Sementara menurut pantauan Alinea.id, kandungan gula dalam sekotak susu UHT bervariasi, mulai dari 5, 6, 8, hingga 19 gram per kotak. Dengan kandungan gula tertinggi ditemukan dalam susu kotak berperisa seperti cokelat, stroberi, almond, dan lain sebagainya.
Dengan tingginya kandungan gula dalam sekotak susu berperisa itu, tak heran jika Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam penelitiannya kepada anak-anak di Bali melaporkan temuan kasus diabetes pada 3% responden. Di mana subjek penelitian adalah 432 orang yang menderita diabetes melitus (DM) tipe 2. “Dari jumlah itu, sebanyak 76,9% mengalami obesitas,” kata Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI Muhammad Faizi, dalam keterangannya.
Tidak hanya meningkat, usia penderita DM tipe dua pun semakin muda. Dari laporan yang diterima IDAI, DM tipe dua telah ditemukan pada anak usia enam tahun. Masih dari data IDAI, pada Januari 2023 prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat dibanding 2010. IDAI mencatat terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes pada Januari 2023, di mana prevalensinya sebesar dua kasus per 100.000 anak, sementara prevalensi kasus diabetes anak pada 2010 adalah 0,028 per 100.000 anak.
Dari sisi jenis kelamin, hampir 60% penderita diabetes adalah anak perempuan. Sedangkan berdasarkan usianya, sebanyak 46% berusia 10 tahun hingga 14 tahun, dan 31% berusia 14 tahun ke atas. Dengan data ini berasal dari 15 kota di Indonesia, di mana penderita diabetes anak paling banyak berasal dari Jakarta dan Surabaya.
Kebiasaan konsumsi makanan dan minuman yang tinggi kandungan gula, seperti kental manis (SKM) atau susu berperisa lainnya adalah pemicu kebiasaan makan yang keliru pada anak. Padahal, selain diabetes dan obesitas, konsumsi susu berperisa juga berpotensi mengganggu tumbuh kembang anak dalam jangka panjang.
Dokter spesialis anak RS Permata Depok Agnes Tri Harjaningrum mengatakan, paparan gula tinggi pada anak usia dini dapat mengganggu metabolisme tubuh anak-anak dan memengaruhi pertumbuhan serta perkembangan mereka secara keseluruhan. Selain itu, kebiasaan konsumsi gula tinggi juga dapat menyebabkan masalah seperti kecanduan minuman dan makanan manis. “Konsumsi gula tinggi pada usia dini dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan masalah kesehatan lainnya pada masa dewasa,” jelasnya.
Dengan potensi risiko itu, Agnes pun menegaskan pentingnya peran orang tua dalam memilih makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi anak-anaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan label gizi pada produk yang diberikan kepada anak. Edukasi tentang bahaya memberikan gula berlebih pada anak tidak boleh diabaikan, pun dengan mengajarkan anak-anak untuk memahami pentingnya membatasi konsumsi gula, serta membantu anak mengembangkan kebiasaan makan seimbang.
Cukai Gula
Di sisi lain, Olivia mengungkapkan peran penting pemerintah untuk menekan risiko diabetes pada anak yang diakibatkan oleh konsumsi susu berperisa. Menurutnya, seharusnya pemerintah dapat mengendalikan produk-produk tinggi gula melalui pengetatan kandungan gula, garam dan lemak. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan kebijakan cukai produk tinggi gula, memberlakukan food labelling yang lebih efektif, serta pembatasan iklan makanan dan minuman dengan kandungan tinggi gula, garam dan lemak di sekolah dan seluruh media yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak.
“Sementara pemerintah memperkuat kebijakan pengendalian, orang tua dan masyarakat perlu diedukasi dan lebih cermat membeli produk di pasaran yang rendah atau tidak ada gula,” ujar Olivia.
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, ada manfaat dari susu kotak maupun susu formula yang kandungan gizi di dalamnya bermanfaat bagi anak. Yakni, protein, kalsium, vitamin D, prebiotik FOS dan GOS yang bagus untuk bantu menjaga fungsi pencernaan, hingga asam lemak esensial omega-3 dan 6 serta AHA, DHA, dan LA yang diperlukan anak dalam masa pertumbuhan. Meski begitu, untuk menekan prevalensi diabetes anak karena konsumsi makanan tinggi gula, saat ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengkaji penerapan kebijakan cukai pada produk-produk MBDK. Sementara itu, dari sisi orang tua, Nadia menilai, pola asuh menjadi penentu apakah anak rentan terkena risiko DM atau tidak. [Artikel dikutip dari Alinea.id).
Be the first to comment