Catatan Kecil untuk Papua Tengah, Masih Perlukah Ikon Nabire Kota Singkong?

Ilustrasi singkong di salah satu pasar Nabire (Ist)

Oleh Heri Soba
Sekjen MSI, Alumni Pascasarjana IPB, dan Jurnalis/Editor.

PERTAMA kali masuk wilayah Papua tahun 1996, penulis hanya mendarat dan tinggal sebentar di Wamena (Jayawijaya), Jayapura, Manokwari dan Biak. Perjalanan itu terkait dengan urusan relawan sosial dari organisasi kemahasiswaan. Wamena kala itu dilanda krisis pangan sehingga sejumlah organisasi kepemudaan diajak pemerintah untuk menyalurkan bantuan. Dengan mengikuti jalur Hercules berbiaya murah, perjalanan itu menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Setidaknya empat dari sembilan kabupaten induk di masa Provinsi Irian Jaya sudah disinggahi.

Beberapa tahun kemudian, karena urusan pekerjaan wartawan dan aktivitas pemberdayaan, sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat pun bisa disinggahi. Dua tahun silam, kembali beraktivitas di Kabupaten Manokwawi (Papua Barat), kemudian Tambrauw, Sorong dan Sorong Selatan (Papua Barat Daya) untuk menjajaki pengembangan pangan. Saat itu, sempat tersirat melakukan jalan darat ke Nabire yang berbatasan dengan Papua Barat, rencana itu tidak terwujud karena cukup jauh dan perlu kesiapan khusus.

Sebagaimana Tanah Papua umumnya, umbi-umbian merupakan kekayaan dan makanan utama masyarakat setempat. Salah satu yang sudah cukup akrab adalah kasbi, sebutan lokal Papua untuk singkong. Di hampir semua wilayah Papua yang disinggahi, pasar-pasar tradisional pasti menyediakan kasbi dengan berbagai variasinya. Kalaupun tidak laku, kasbi bisa menjadi pakan ternak, terutama babi. Ya, musuh kasbi di beberapa wilayah adalah babi dan hewan lainnya. Kebun-kebun warga di perkampungan harus berpagar tinggi agar kasbi bisa dipanen.

Sekalipun Papua kaya akan umbi-umbian, tingkat konsumsi kasbi (singkong) terus menurun sebagaimana dengan sagu. Sejumlah kajian menunjukkan ketergantungan pada beras dari luar Tanah Papua cukup tinggi. Ini juga dibahas dalam sebuah webinar Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) tentang prospek kasbi Papua pada tahun 2022 lalu.

Saat itu menghadirkan petani dan produsen olahan kasbi (keripik) dari Manokwari. Sempat dibahas ketergantungan tapioka dari Surabaya (Jawa Timur) atau kadang Makassar (Sulawesi Selatan). Biasanya untuk kue, kerupuk, mie, bakso, dan beberapa olahan lain. Padahal, tapioka dari kasbi. Cukup ironis.

Namun ini tidak berarti belum ada upaya mengolah kasbi. Sejak tahun 2010-an, ada beberapa program pengolahan kasbi menjadi tapioka yang tersebar di beberapa wilayah. Penulis mencatat ada di Merauke, Jayapura, Keerom, dan Manokwari. Sayangnya lagi, tidak berkelanjutan dari program tersebut. Perlu pendekatan yang lebih terintegrasi dan tidak semata-mata karena proyek. Singkong (kasbi) terkesan sederhana, tetapi bisa fatal seperti yang terjadi pada food estate di Kalimantan Tengah.

Lalu apa kaitannya dengan Nabire? Ibu kota Provinsi Papua Tengah itu merupakan salah satu kawasan yang mempunyai prospek pengembangan singkong. Medio tahun 1970-an, hampir bersamaan dengan lahirnya band musik Black Brother’s di Nabire, pernah terdengar program pengembangan singkong, meski catatan soal ini sangat sedikit.

Informasi tersebut sangat logis dari beberapa sumber menyebutkan ketika pembukaan wilayah hutan-hutan Nabire saat itu, banyak ditemui singkong. Bisa jadi inilah yang kemudian Nabire pernah dijuluki Kota Singkong bersamaan dengan sebutan Kota Jeruk. Sejumlah tulisan dan kutipan-kutipan media di internet, menyebutkan Kota Singkong tersebut meski belum dijelaskan alasannya. Julukan yang nyaris tidak ada di tempat-tempat lain se-Papua. Papua kaya akan umbi-umbian dan citra Kota Singkong perlu terus diperkuat. Singkong (kasbi) merupakan komoditas yang multiguna.

Namun, faktor kepemimpinan dan kebijakan ikut berpengaruh dalam pengembangannya. Pendekatannya tidak harus dalam skala ratusan miliar rupiah, tetapi bisa dimulai dari yang paling memungkinkan dengan menggerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasangan Meki Nawipa dan Deinas Geley sudah ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah. Keduanya tercatat mempunyai visi dan sembilan program prioritas.

Tentu sulit mencari keterkaitan singkong (kasbi) dalam program-program tersebut, jika perspektifnya hanya berkebun dan konsumsi langsung. Namun, singkong berkorelasi dengan empat dari sembilan program prioritas Nawipa-Geley. Yang paling dekat adalah menjaga stabilitas harga pangan (mengapa hanya beras?), membangun konektivitas antarwilayah (akses layanan pemerintah dan pasar), membangun industri hulu dan hilir (olahan singkong). Kemudian pendidikan dikaitkan dengan program bergizi gratis (MBG), mungkinkah unsur karbohidratnya tidak harus dengan beras atau bila perlu beras dicampur kasbi?

Mudah-mudahan, julukan Kota Singkong untuk Nabire bisa menggerakkan delapan kabupaten di Papua Tengah lainnya. Bisa mulai dari Kabupaten Nabire atau yang lainnya, seperti Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, Puncak dan Puncak Jaya. Apalagi, Meki mantan pilot yang kemudian menjadi Bupati Paniai, lalu Deinas politisi yang terakhir menjabat Wakil Bupati Puncak Jaya. ***

Advertorial
IpeComm melayani jasa editor (media/buku), penulisan kreatif, media/public relation, komunikasi (government/community/private), promosi, business intelligent, analisis media, hingga crisis management. Didukung tim ahli & profesional, berpengalaman dalam komunikasi dan pernah berkarir di sejumlah media nasional/internasional. Bisa hubungi 081356564448 atau agrifood.id@gmail.com.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*