Air Tanah Diduga Tercemar, Limbah Medis Mengancam Kupang

Limbah medis salah satu rumah sakit di Kupang, NTT.

Jakarta – Penumpukan limbah medis dari sejumlah rumah sakit di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin memprihatinkan. Limbah medis yang tidak segera diatasi akan mengancam lingkungan dan diduga bisa mencemari air tanah. Untuk itu, diperlukan terobosan sehingga penumpukan limbah yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) itu bisa segera diatasi.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) NTT Thomas Lelan kepada SP baru-baru ini menyebutkan penumpukan sampah yang berlebihan di sejumlah rumah sakit (RS) sudah sangat memperihatinkan. Di Kota Kupang saja, sebanyak 11 dari 12 rumah sakit belum memiliki unit pengolahan limbah sehingga diduga hanya ditumpukan atau dibuang pada tempat yang tidak sesuai peruntukannya.

Thomas menjelaskan, data sementara dari 12 rumah sakit di Kota Kupang saja menghasilkan limbah medis sekitar 400 kilogram per hari. Ini berlum termasuk sejumlah Puskesmas yang juga cukup banyak memiliki limbah medis.

“Jika terus dibiarkan, ada dugaan limbah medis tersebut justru semakin membahayakan lingkungan dan bisa saja mencemari air tanah. Ini yang perlu dikaji lebih dalam lagi dan perlu upaya cepat untuk mengurangi penumpukan limbah medis,” ujarnya.

Secara terpisah, pengamat limbah dan persampahan Greg Nafanu, menjelaskan bahwa kajian atas dampak penumpukan limbah medis pada air tanah tersebut harus segera dilakukan. Seiring dengan itu maka perlu mempercepat solusi atas limbah medis yang tidak terurus dengan baik.

“Perlu ada kajian yang rinci sehingga ada argumentasi untuk mempercepat solusi yang harus disiapkan. Kajian terhadap dampaknya tidak saja pada air tanah, tetapi setelah itu bagaimana kaitannya dengan kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya,” kata Greg.

Seperti diketahui, penumpukan limbah medis sebenarnya telah menyalahi aturan. penampungan dan pengolahan yang tidak sesuai standar justru akan menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat di sekitar RS.

“Penumpukan limbah medis sudah cukup lama karena minimnya fasilitas pengolahan dari sebagian besar rumah sakit di NTT. Saat ini kami baru memantau secara intens untuk Kota Kupang dengan penumpukan yang cukup banyak dari 11 rumah sakit pemerintah dan swasta,” kata Thomas.

Dikatakan, sebagian besar RS tersebut belum memiliki insinerator atau alat pengolah lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor: P.56/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Selain keterbatasan dari sebagian besar RS, fasilitas pengolahan insinerator atau alat pengolah lainnya dari pihak ketiga pun masih terbatas di seluruh NTT, termasuk Kota Kupang.

Kepala Seksi Limbah DLH NTT Frans Tola menyebutkan hasil evaluasi pengelolaan limbah medis bersama 12 RS di Kota Kupang membutuhkan fasilitasi pemerintah agar bisa mengatasi penumpukan limbah medis yang masih banyak. Pada awal tahun 2018 lalu saja diperkirakan sekitar 22 ton limbah sampah medis RS yang belum diolah dengan baik.

Frans menyebutkan, salah satu langkah mendesak yang sudah dilakukan adalah Pemprov NTT sudah menyurati Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Surat yang ditandatangani Gubernur NTT Frans Lebu Raya tersebut agar KLHK mengeluarkan kebijakan sementara guna mengijinkan anak perusahaan dari BUMN PT Semen Indonesia di Kupang untuk segera mengelola limbah medis tersebut.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*