Akhir 2018, Impor Kakao Bisa Capai 240 Ribu Ton

Ilustrasi buah kakao.

Jakarta – Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) memperkirakan impor kakao hingga akhir 2018 mencapai 240 ribu ton, atau turun 4,61% dari realisasi impor 2017 yang tercatat 251.612 ton. Saat ini, Indonesia tidak lagi tercatat sebagai eksportir kakao tapi sudah menjadi importir. Impor kakao dari Pantai Gading, Ghana, Kamerun, Nigeria, dan Ekuador.

Dalam catatan AIKI, impor kakao 2017 sebanyak 251.612 ton tersebut, sebanyak 226.613 ton di antaranya merupakan biji kakao dan 24.999 ton lainnya adalah kakao olahan. Sementara itu, sepanjang Januari-Maret 2018 impor kakao terpantau baru 76.483 ton dengan 8.005 ton di antaranya merupakan kakao olahan. Padahal, impor pada Januari-Maret 2017 tercatat sebanyak 56.345 ton dengan 7.608 ton di antaranya berupa kakao olahan.

Direktur Eksekutif AIKI Sindra Wijaya menjelaskan, kebutuhan industri tahun ini kemungkinan sebesar 500 ribu ton. Apabila produksi lokal sama seperti 2017 sebesar 260 ribu ton maka impornya minimal 240 ribu ton. “Impor sebanyak itu baru untuk pemenuhan utilisasi 62,50% dari total kapasitas terpasang industri nasional sebesar 800 ribu ton,” kata dia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, industri kakao Indonesia selama ini mengimpor biji kakao sekitar 20-30 ribu ton per tahun. Biji kakao impor tersebut dijadikan sebagai pencampur karena umumnya biji kakao lokal tidak difermentasi sehingga aromanya kurang kuat. Namun, sejak 2014 terjadi perubahan total. Indonesia bukan lagi pengekspor biji kakao, tapi sudah menjadi pengimpor, yakni dari Pantai Gading, Ghana, Kamerun, Nigeria, dan Ekuador. Biji kakao dari Afrika bukan lagi dipakai sebagai pencampur, tapi sebagai bahan utama dalam proses produksi. “Kondisi ini terpaksa dilakukan oleh industri daripada mesin-mesin yang sudah terpasang dengan investasi triliunan rupiah menganggur percuma,” kata Sindra Wijaya.

Hanya saja, lanjut dia, pemenuhan bahan baku impor tidak dapat menopang peningkatan kinerja industri kakao di dalam negeri. Pasalnya, impor kakao dikenakan beban bea masuk (BM) sebesar 5%, ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dan pajak penghasilan (PPH) 2,50%, ini berbeda dengan impor bahan baku oleh industri sejenis di negara lain. Di sisi lain, produk kakao olahan yang masuk dari negara tetangga bebas BM sejak berlakunya perdagangan bebas (AFTA).

Kondisi tersebut pada akhirnya membuat industri lokal kalah bersaing dengan produk impor di kandang sendiri. Akibatnya, produk kakao olahan impor masuk dengan derasnya setiap tahun ke Indonesia. Impor bubuk kakao pada 2016 tercatat sebanyak 16.020 ton, lalu menjadi 18.661 ton pada 2017. “Dari 20 industri kakao yang ada di Indonesia, sembilan di antaranya sudah setop produksi. Daya saing industri kakao saat ini terus melemah,” kata Sindra seperti ditulis ID.

Untuk itu, kata dia, AIKI mengusulkan, BM impor biji kakao diturunkan menjadi 0% untuk meningkatkan daya saing industri dan kurangi impor kakao olahan. Di sisi lain, PPN atas komoditas primer segera direvisi menjadi1%. Persoalan lain adalah perbedaan data produksi kakao dalam negeri oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dan industri. Produksi kakao lokal terus menurun. Sementara itu, fokus Kementan dalam dua tahun terakhir hanya pada padi, jagung, dan kedelai. [AF-04]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*