
JAKARTA, AF – Koordinator Bidang Pangan Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Ifan Martino memastikan desain makan bergizi gratis (MBG) memanfaatkan pangan lokal Indonesia.
“Makan bergizi gratis, pengawasannya dalam desain kita tambahkan seluruh komponen memanfaatkan produksi lokal, termasuk pangan lokal, dan ketika itu masuk dalam desain dan rencana, di Bappenas kita sudah punya sistem monitoring dan evaluasi (monev),” katanya di Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Ia menyebutkan, untuk meningkatkan produksi dan kekuatan dari pangan lokal, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang (UU) 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045. “Di dalamnya, terdapat transformasi penguatan pangan lokal berbasis pada potensi-potensi di daerah,” ucapnya.
Baca : GSN Terus Berkembang, Ini Cara Penyajian Aneka Cemilan Singkong Beku
Selain itu, dalam penyediaan makan bergizi gratis, Bappenas juga merancang desain redistribusi pangan untuk mengurangi pemborosan pangan atau food waste. Terkait food waste, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per orang di Indonesia menyumbang 115-184 kg sampah makanan per orang per tahun, yang apabila dikonversi dalam bentuk rupiah, sekitar Rp 200-551 triliun per tahun.
“Kalau dikonversi dalam jumlah orang, hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia bisa mendapatkan makan layak sebetulnya dari sisa makanan yang terbuang tersebut,” ucapnya.
Bergeser
Secara terpisah, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi menyebut pentingnya peningkatan konsumsi pangan lokal untuk menghapus ketergantungan masyarakat terhadap beras dan tepung. “Sebagai contoh, masyarakat di daerah timur bisa mengonsumsi sagu atau sorgum seperti leluhur mereka, tidak harus ikut-ikutan selalu makan beras seperti masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pun punya sumber karbohidrat selain beras seperti singkong, jagung, dan umbi-umbian lainnya,” katanya dalam diskusi Forum Bumi, Kamis.
Baca : HAF-IPB Gelar Ragam Agenda Merayakan Dies Natalis Fateta ke-60
Ia menjelaskan, dampak negatif akibat pergeseran pola konsumsi ke beras dan terigu yakni meningkatkan ketergantungan pangan dari impor. Selain itu, masyarakat lokal di pulau-pulau kecil juga harus membayar beras lebih mahal. “Menurut data Badan Pangan Nasional pada 2023, harga eceran beras premium di Jawa adalah sekitar Rp15 ribu per kilogram, tetapi harga beras yang sama itu sudah menjadi Rp17 ribu sampai Rp20 ribu per kilogram di tiga wilayah kepulauan, yakni Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, dan Mentawai,” ujar dia.
Menurut Sjamsul, seperti ditulis Antara, sistem pangan Indonesia harus berbasis pada keberagaman Nusantara, termasuk sumber hayati dan budaya pangan di tanah air yang melimpah, di mana masyarakat lokal setiap daerah memiliki kebudayaan dan sumber pangan lokal yang harus dilestarikan untuk menjaga keragaman pangan. Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia yang semula 53,5 persen, pada tahun 2017 naik menjadi 74,6 persen.
Selain itu, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gandum (bahan tepung terigu) sebagai sumber karbohidrat juga meningkat pesat, dari 5 persen pada tahun 1954 menjadi 25,4 persen pada tahun 2017, dan semakin meningkat menjadi 28 persen pada 2022.
“Sebenarnya Indonesia ini sangat kaya sekali, terdapat 72 varietas sumber karbohidrat, dan juga kacang-kacangan mencapai 100 varietas dan juga 450 varietas buah-buahan. Nah, ini sebenarnya adalah momen untuk membudayakan kembali, untuk kembali ke pangan lokal,” jelas Sjamsul.
Forum Bumi kedua digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia dengan tema “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?” untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memanfaatkan pangan lokal di daerah masing-masing.[AF-02]
Be the first to comment