Bawang Merah Nisam dan Tradisi Kuliner Aceh

Bawang merah.

Nisam, AF – Hari menjelang gelap dan rumah penduduk yang terlihat jarang membuat suasana kurang bersahabat. Kami bertiga di dalam mobil pun merasa kurang nyaman, begitu pula sopir yang mengantarkan kami. Beberapa orang yang berpapasan memperlihatkan pandangan yang dalam, tampak curiga. Mungkin karena kami bertiga orang baru di tempat itu dan datang menjelang gelap.

Selain itu, saya menduga terkait erat dengan sejarah panjang dan kelam peperangan di Aceh terutama di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, yang merupakan salah satu pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perang yang pernah berkepanjangan, membuat tidak sedikit korban berjatuhan. Masyarakat tidak mudah saling percaya, apalagi melihat orang asing. Situasi yang tidak pulih seratus persen pun masih terjadi dengan sejumlah operasi militer di kawasan-kawasan sekitar Nisam.

Singkat cerita, situasinya memang masih rawan dan mengkhwatirkan, tetapi janji tetaplah janji yang harus dipenuhi untuk datang ke Nisam. Untuk melepas lelah, kami mampir di kedai kopi yang dekat sebuah toko pertanian. Kedai kopi dan warung mie Aceh merupakan tempat paling banyak ditemui sepanjang perjalanan di Aceh. Ini berarti, ada indikasi masyarakat yang senang berkumpul dan relaks. Setiap mie Aceh yang disuguhkan pasti disajikan bersama acar bawang merah dan emping. Bawang merah disajikan dalam jumlah yang cukup banyak. Indikasi berikutnya adalah banyak sekali konsumsi bawang merah dari masyarakat Aceh. Dimana saja produksi bawang merah untuk masyarakat Aceh?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh dalam Angka 2017 menyebutkan produk sayuran di Provinsi Aceh hanya cabai besar, cabai rawit, kacang panjang, kentang, ketimun dan tomat. Tidak terlihat jumlah produksi bawang merah di Aceh. Jadi dari mana bawang merah untuk konsumsi yang begitu besar di Aceh? Statistik Indonesia 2016 menjelaskan hanya ada 776 ha lahan bawang merah di Aceh pada 2015 dengan hasil produksi 5.739 ton setahun. Bandingkan dengan NTB yang tidak memiliki kedai dengan potensi konsumsi yang sebesar Aceh tetapi memiliki hasil produksi 160.201 ton pada tahun 2015.

Seorang teman mengatakan bawang merah tidak biasa ditanam di Aceh. Itu bukan budaya orang Aceh. Padi dan jagunglah merupakan tanaman yang paling banyak dibudidayakan turun temurun. Bawang merah kebanyakan berasal dari wilayah lain di Sumatera. Menurut statistik provinsi Sumatera Barat menghasilkan 61.568 ton bawang merah pada 2015. Lebih dari 10 kali lipat produksi di Aceh. Infrastruktur jalan yang bagus memudahkan untuk membeli bawang merah dari Sumatera Barat maupun daerah-daerah lain yang merupakan sentra bawang merah.

Setelah menanti beberapa saat, orang yang ditunggu Wildan Yu pun tiba. Beliau adalah petani asli Nisam. Orang yang diharapkan menceritakan kepada kami tentang bawang merah di Aceh. Petani muda, agak gelap kulitnya, bercambang halus dan sangat bersemangat. Beliau sudah mengalami pahit manisnya menanam bawang merah selama beberapa musim. Wildan Yu mulai menanam bawang merah satu tahun belakangan. Mulai dengan uji coba dilahan pekarangan dan terus berkembang luasan lahan yang ditanamnya. Bukan hanya bawang merah untuk konsumsi akan tetapi beliau juga menyediakan bibit buat petani lain yang membutuhkannya. Bawang merah ada di Aceh. Akan tetapi tidak banyak orang yang bermental seperti Wildan alias bermental bawang yang tetap berani menanam walaupun sering gagal. Beliau ingin dapat menyuplai kebutuhan bibit bawang buat para petani di Aceh sehingga dapat memenuhi kebutuhan bawang merah dari petani di wilayahnya sendiri.

 

Keesokan harinya kami mengunjungi lahan bawang merah Wil Dan. Cuma ada satu hamparan kecil dengan luasan yang tidak lebih dari 3000 meter persegi. Tidak terlihat lahan lain untuk bawang merah di sekitarnya. Berbeda bila kita ke Brebes, Nganjuk, Lombok Timur ataupun Bima. Selalu ada hamparan lahan bawang merah dengan banyak petaninya. Lahan bawang merah yang berdekatan memang beresiko penularan hama dan penyakit. Bagi sebagian orang, apabila bawang merah yang akan ditanam untuk dijadikan bibit, maka petani cenderung mencari daerah yang agak terisolasi agak meminimalisir resiko.

“Bibit saya sudah sampai ke Aceh Besar dan beberapa petani tetangga di Aceh Utara,” ujarnya Wildan. Sejalan dengan waktu beliau berharap permintaan akan bibit semakin bertambah, terutama dari wilayah Aceh sendiri. Besar mimpi beliau agar Aceh menjadi provinsi yang mencukupi permintaan diri sendiri. Semoga.

(Dikisahkan oleh Robert Raya yang pernah mendampingi petani bawang merah di NTB. Kini menjadi pengamat agribisnis dan menetap di Sydney, Australia).

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*