Bogor, AF – Bisnis yang berkelanjutan (green business) atau juga sering dianalogikan dengan wirausaha sosial terus bertumbuh di Indonesia. Sejumlah usaha pun mulai digarap beberapa beberapa pihak dengan tidak semata-mata untuk bisnis dan keuntungan. Meski tantangannya tidak sedikit, animo mendorong bisnis hijau ini terus meningkat. Tidak jarang ada juga yang akhirnya gagal.
Demikian halnya dengan pasangan asal Selandia Baru ini, Luke Swainson dan Jane Dunlop. Setelah menjalani beberapa program pemulihan dari bencana gempa dan tsunami di Aceh, keduanya pun merintis usaha yang mungkin sulit bagi kebanyakan orang Indonesia.
Luke-Jane pun berusaha mengangkat potensi yang ada di Pulau Simeulue, Aceh. Sebagaimana jejeran Pulau Nias di sebelah selatannya, Pulau Simeulue yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia ini juga menyimpan potensi ombak laut yang cukup bagus. Ini menjadi daya tarik pariwisata tersendiri, khususnya bagi peminat selancar, yang bisa bertahan beberapa minggu untuk menikmati ombak. Pulau Asu di Nias Barat, misalnya, yang pernah dikunjungi penulis pada awal 2008 lalu, pun menjadi incaran wisatawan dunia karena memiliki ketinggian ombak antara 4-7 meter.
Bagi Luke dan Jane, potensi ombak tersebut menjadi salah satu daya tarik sehingga mereka mendirikan resor yang bekerja sama dengan Haka, sebuah organisasi konservasi yang melindungi kura-kura laut. Resor Mahi-Mahi, yang dirintis tiga tahun silam dengan misi ekologis melestarikan kura-kura, mulai menunjukkan hasil yang baik. “Bisnis tersebut baru saja mencapai ‘arus kas netral’ dan berharap akan berbalik menguntungkan dalam satu atau dua tahun lagi,” kata Luke sebagaimana ditulis www.stuff.co.nz pada awal Mei lalu.
Setelah pariwisata, kini Luke dan Jane melihat potensi kelapa yang bisa dikembangkan. Langkah itu dilakukan agar tercipta usaha berkelanjutan bagi masyarakat. Hamparan kelapa di Pulau Simeulue dan sekitarnya, seperti kawasan Kepulauan Banyak, dapat dikembangkan agar berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat. “Pariwisata itu menjadi urutan teratas, kelapa adalah yang kedua,” kata Luke.
Pasangan tersebut menyadari jika ingin memberi dampak positif pada Aceh, ekonomi dan lingkungannya, maka masyarakat perlu memulai dari bawah dan membangun untuk kepentingannya. Jadi, masyarakat dan pemerintah Aceh tidak lagi terlena dengan bantuan bencana US $ 7 miliar yang akhirnya tidak fokus pada solusi jangka panjang.
Lalu bagaimana hingga keduanya membangun usaha di Simeulue?
Setelah bertemu di kampus Universitas Otago sekitar 16 tahun lalu, dan seiring dengan tugas kuliah serta arahan pembimbingnya, keduanya pun menuju Aceh yang ‘menarik’ karena sejarahnya. “Mereka mengalami konflik 30 tahun dan kemudian terjadi bencana alam masif. Tapi satu hal positif adalah bahwa hal itu benar-benar mendorong kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan gerakan separatis,” kata Jane.
Selain itu, yang tidak kalah menariknya adalah organisasi konservasi lokal yang melindungi kawasan persarangan penyu. Sayangnya, program tersebut hanya bertahan selama ada bantuan.
“Ada hibah selama 12 bulan dan setelah itu habis. Tidak ada uang yang tersisa untuk upah dan keseluruhan program tersebut,” ujar Luke.
Dengan kondisi inilah, Luke dan Jane lalu menggagas sebuah bisnis yang berkelanjutan dengan pembagian keuntungan yang diatur secara bersama. Dari sinilah keduanya mulai merintis green business tersebut. Namun, rencana mendirikan resor di Kepulauan Banyak mengalami kendala karena ada sejumlah kebijakan pemerintah yang ‘ketat’ dan masalah pertanahan, sehingga pasangan tersebut memilih pulau tetangga Simeulue.
“Selain itu, tidak mudah mendapatkan tenaga lokal dengan kualifikasi yang bagus. Ini tantangan untuk melatih masyarakat bisa mandiri dan secara perlahan ternyata mereka bisa,” ujar Luke ketika menceritakan awal merintis usaha tersebut dalam sebuah perbincangan di Bogor, dua tahun silam.
Kini, setelah resor tersebut sudah mulai mandiri, pengolahan kelapa dengan berbagai produk turunannya pun akan menyusul. Langkah yang tidak mudah bagi ayah dan ibu dari Rumi, putra mereka, dengan perjalanan jauh dari Taranaki, Selandia Baru, untuk membangun sebuah usaha berkelanjutan di Pulau Simeulue. [Tim Agrifood]
(Diolah dari : Kiwi couple launch green businesses in Indonesia to protect sea turtles)
Be the first to comment