Jakarta – Sepanjang semester I-2018, nilai penjualan industri kemasan mencapai 50,4 triliun, stagnan dibanding periode sama tahun lalu. Momen puasa dan lebaran, serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tidak mampu mendongkrak permintaan makanan dan minuman (mamin) secara signifikan, yang akhirnya berpengaruh pada kinerja industri kemasan.
“Biasanya permintaan saat puasa dan lebaran bisa naik 20-30%, tapi kemarin paling tinggi hanya 10-12%,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) Ariana Susanti, baru-baru ini.
Dijelaskan, lesunya permintaan dari industri mamin olahan, sangat berpengaruh terhadap kinerja kemasan pada paruh pertama 2018. Pasalnya, industri mamin merupakan konsumen terbesar industri kemasan. “Kenaikan justru datang dari kemasan ritel (ritel packaging), karena banyak start up yang berkembang,” ujar dia, seperti ditulis ID.
Dia mengungkapkan, pihaknya masih harus menghitung secara pasti kenaikan kemasan ritel, seiring berkembangnya inovasi serta bisnis online. Menurut dia, asosiasi memerlukan pemetaan, apakah kemasan yang digunakan merupakan buatan lokal atau impor, karena banyaknya varian yang ada.
Secara keseluruhan, Ariana mencatat, omzet industri kemasan pada semester I-2018 sudah memenuhi target, yakni US$ 3,5 miliar atau Rp 50,4 triliun. Angka itu separuh dari target sepanjang tahun 2018 yang sebesar US$ 7 miliar atau sekitar Rp 100,92 triliun.
Baca : Mandatori Minyak Goreng Kemasan Mulai Berlaku 1 Januari 2020
Memasuki semester II-2018, kata dia, industri kemasan masih dibayangi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan kenaikan harga bahan baku akibat Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap polietilena tereftalat (PET) dari Tiongkok. Hal ini berdampak pada kenaikan harga kemasan, hingga produk akhir.
“Sulit mengatakan berapa persen kenaikannya, tapi yang paling terasa adalah di minuman kemasan seperti air mineral, karena dia kan ada standarnya. Ini membuat pertumbuhan agak stagnan, karena industri penggunanya kena dampak. Omzet naik karena harganya naik dan nilai tukarnya,” jelasnya.
Ariana menekankan, industri pengemasan masih sangat bergantung pada industri pengguna. Jika permintaan industri mamin lesu, begitu pula industri kemasan. Apalagi, permintaan industri mamin mendominasi sekitar 40%.
Sementara itu, industri mamin olahan bakal menaikkan harga jual produk, jika pelemahan rupiah terus berlanjut dan mencapai batas toleransi di level Rp 15 ribu per dolar AS. Kenaikan harga jual produk mamin tidak bisa dihindari karena sebagian besar bahan bakunya masih diimpor, sehingga sangat terdampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
“Batas nilai tukar rupiah yang bisa ditoleransi adalah Rp 15 ribu per dolar AS. Jika sudah melewati angka tersebut, pelaku usaha sudah pasti akan menaikkan harga jual produk,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman, baru-baru ini.
Adhi mengatakan, para pelaku usaha mamin mulai khawatir dan sudah mulai menyiapkan rencana jika rupiah terus melemah. Pasalnya, sekitar 80% bahan baku industri mamin seperti terigu, garam, gula, pewarna, dan perasa, masih dipenuhi dari impor.
“Industri mamin sama dengan industri farmasi, di mana bahan bakunya masih banyak yang berasal dari impor. Impor sebenarnya tidak dilarang, namun harus dibatasi agar tidak merusak fundamental ekonomi,” kata Adhi.
Adhi mengatakan, ketergantungan terhadap bahan baku impor bisa dicegah, asalkan pemerintah dan pelaku usaha bekerja sama. “Impor bisa dicegah jika ada dukungan dari pemerintah karena pelaku usaha tidak bisa bekerja sendiri,” ujar dia. [AF-04]
Be the first to comment