Mengembalikan Kejayaan Rempah-Rempah Nusantara

Ilustrasi rempah-rempah Nusantara.

Selama tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian berupaya mewujudkan swasembada pangan, terutama beras, jagung, bawang merah dan cabai. Seiring dengan itu, pemerintah saat ini juga fokus mengembalikan kejayaan rempah-rempah Nusantara agar negara-negara Eropa, seperti Spanyol, Belanda dan Inggris kembali melirik komoditas primadona itu seperti 500 tahun lalu.

Kondisi rempah Indonesia saat ini memang menunjukkan tren penurunan ekspor. Berdasarkan data BPS periode Januari hingga November 2016, nilai total ekspor rempah Indonesia sebesar 653,3 juta dolar AS atau turun dibandingkan nilai ekspor tahun 2015 pada periode yang sama sebesar 770,42 juta dolar, kecuali vanili yang naik dari 14,41 juta dolar tahun 2015 menjadi 62,08 juta dolar pada periode yang sama tahun 2016.

Oleh karena itu, Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran untuk bibit dan benih hortikultura dan perkebunan Rp 5,5 triliun. Sebanyak Rp 2,4 triliun telah digunakan pada 2017 dan sisanya masuk dalam anggaran 2018. Setidaknya ada empat wilayah yang telah dipetakan Kementerian Pertanian serta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai fokus untuk melakukan pembibitan, yakni Sulawesi, Maluku, Kalimantan hingga Sumatera.

Selama 2017, Menteri Pertanian Amran Sulaiman membagikan 30 juta benih rempah-rempah dan akan ditingkatkan menjadi 46 juta benih gratis yang akan disalurkan pada 2018. Bibit dan benih yang dibagikan, antara lain cengkeh, pala, kayu manis, kakao, dan kopi di sejumlah wilayah sesuai potensinya masing-masing.
Sebagai contoh, Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan ditanami lada, Maluku ditanami cengkeh, pala, dan mete, lalu Aceh dan Bengkulu ditanami kopi.

Pada Oktober 2017, Ratusan Kelompok Tani cengkeh dan pala yang tersebar di lima kabupaten di Maluku, menerima bantuan perluasan dan rehabilitasi tanaman pala dan cengkeh yang diberikan secara bertahap senilai Rp 100 miliar. Maluku merupakan salah satu daerah penghasil cengkeh, pala dan kayu manis. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian akan menambah alokasi anggaran untuk penyediaan bibit unggul rempah-rempah untuk Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebesar Rp 200 miliar.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, saat ini di Pulau Buru, Maluku terdapat perkebunan cengkeh seluas 1.109 hektare dengan penghasilan 448 ton atau 474 kilogram per hektare (kg/ha). Kemudian, Pulau Buru Selatan memiliki lahan perkebunan cengkeh sebesar 5.483 ha dengan hasil 2.096 ton atau 625 kg/ha. Perkebunan cengkeh di Maluku Tengah seluas 18.609 ha dan menghasilkan 9.758 ton atau 670 kg/ha. Sementara itu, lahan perkebunan pala seluas 11.148 ha dengan hasil mencapai 1.996 ton, 301 kg/ha.

Ketua Dewan Rempah Indonesia Gamal Nasir, seperti ditulis Antara, mengatakan bahwa kondisi perkebunan rempah milik rakyat sudah memprihatinkan karena pada umumnya kurang terawat dan usia tanaman sudah melewati batas usia tanaman. Hal itu membuat produktivitas menurun ditambah kondisi cuaca yang tidak kondusif mengakibatkan serangan hama meningkat sehingga kualitas produksi juga turut menurun.

Oleh karena itu, Dewan Rempah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah dalam pemetaan komoditas serta lahan-lahan petani yang harus segera mendapatkan penanganan untuk memperbaiki kondisi perkebunan rempah rakyat.

Menteri Amran optimistis rempah-rempah Nusantara akan kembali berjaya dalam tempo satu dasawarsa, khususnya di Maluku, karena dua keunggulan di daerah tersebut. Pertama, Provinsi Maluku memiliki bibit unggul, seperti kayu manis, cengkih dan pala. Kedua, iklim perkebunan (agroclimate) di Maluku sangat mendukung.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan menata perniagaan rempah untuk meningkatkan nilai tambah sebagai komoditas unggulan ekspor dari Indonesia. Dia menyayangkan Singapura saat ini lebih terkenal sebagai negara eksportir rempah-rempah daripada Indonesia yang sempat berjaya dari perdagangan komoditas tersebut.
“Indonesia dibandingkan Singapura yang tidak punya bahan, jauh sekali. Sumbernya dari Indonesia, dijual melalui Singapura kemudian Singapura dikenal eksportir rempah-rempah yang dihasilkan dari Indonesia,” ucap Enggar.

Ia mengakui Indonesia pun masih bergantung pada impor untuk sejumlah rempah-rempah, seperti cengkeh dan lada, padahal komoditas tersebut bisa dipenuhi dari dalam negeri dilihat dari segi iklim dan kondisi tanah yang subur.
Selain itu, harga lada di sejumlah daerah, seperti di Pulau Bangka, pada 2017 sempat merosot hingga ke posisi Rp65.000 dari sebelumnya Rp70.000 per kilogram. Dibanding tahun sebelumnya, harga lada sempat melambung tinggi di posisi Rp170.000 per kilogram dan kemudian jatuh ke posisi Rp120.000 per kilogram.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan akan melakukan tata perniagaan rempah-rempah, apalagi komoditas tersebut hanya terdapat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*