Singkong Fluktuatif, Budi Starch Kaji Ulang Rencana Bangun Pabrik

Pasokan singkong yang fluktuatif juga berdampak pada produksi gaplek.

Jakarta, AF – PT Budi Starch & Sweetener Tbk (BUDI) masih menimbang-nimbang untuk membangunan pabrik fruktosa baru di Jawa Timur pada awal tahun 2018 ini. Sebelum membangun, perseroan ini ingin memastikan pasar tapioka dan pemanis atau sweetener baik di dalam maupun luar negeri bisa stabil.

Direktur PT Budi Starch & Sweeteneer Tbk Mawarti Wongso mengatakan, kalau produk impor banyak dan menyebabkan kelebihan pasokan, hal tersebut bisa menyebabkan harga produk menjadi murah alias turun. “Kalau seperti itu tentu kami bisa postponed (menunda) dulu,” ujarnya pekan lalu.

Sebelumnya BUDI dikabarkan bakal menambah satu pabrik fruktosa berkapasitas 36.000 ton per tahun di Jawa Timur. Investasi pembangunan pabrik tersebut berkisar di Rp 41 miliar. Saat ini BUDI telah memiliki 15 pabrik tapioka dan empat pabrik sweetener dengan kapasitas terpasang sekitar 800.000 ton per tahun.

(Baca : Pemerintah Perlu Dorong Pelaku Industri Bangun Klaster Singkong)

Mawarti mengatakan, bisnis tapioka dan pemanis BUDI masih terus bertumbuh. Harga produk mengikuti harga bahan baku yakni singkong yang naik sejak akhir 2017. Namun, perusahaannya juga waspada kalau harga bahan baku turun. Faktor utama yang menyebabkan penurunan harga yang paling utama ialah cuaca buruk yang mengganggu masa tanam singkong.

“Selebihnya bisnis BUDI masih sangat menjanjikan apalagi di tengah konsumsi masyarakat menengah akan produk consumer goods tengah meningkat,” terang Mawarti, seperti ditulis Kontan.

Untuk perolehan pendapatan di 2017 Mawarti memaparkan bahwa target Rp 2,5 triliun di 2017 telah tercapai.
Sementara itu, Budi Starch mematok bisnis akan tumbuh 10% pada 2018. Jika pendapatan Rp 2,5 triliun terealisasi maka di 2018 perolehan penjualan Budi Starch diperkirakan menyentuh Rp 2,75 triliun.

Adapun untuk kapasitas produksi di 2018, kata Mawarti, diperkirakan bakal sama dengan tahun 2017. Utilisasi produksi pabrikan rata-rata mencapai 65%-70%. “Sampai Desember 2017 produksi kurang lebih 420.000 ton,” urainya.
Pasar domestik masih menjadi penopang bisnis BUDI selama ini karena jumlah populasi yang tinggi sehingga belum berencana merambah pasar ekspor. “Sebanyak 65% tapioka kami dipakai industri makanan dan minuman, sementara 20% oleh industri kertas dan sisanya untuk keperluan industri kimia dan lainnya,” ungkap Mawarti. [AF-04]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*