Cirebon, Agrifood.id – Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman mendorong pengembangan teknologi prisma dalam produksi garam rakyat. Hasil produksi prisma garam diyakini bisa memenuhi kebutuhan garam industri di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinator Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan pengembangan teknologi sederhana melalui prisma garam tersebut bisa meningkatkan nilai jual garam. Kandungan natrium klorida (NaCl) dalam garam hasil produksi menggunakan teknologi prisma sesuai standar kebutuhan garam industri, kandungan NaCl bisa 94%. Namun, Agung tak menampik pengembangan penggunaan teknologi prisma garam tersebut terkendala lahan petambak.
“Pengembangan teknologi ini terbilang sederhana, bahannya sederhana. Untuk menggunakan teknologi sederhana ini tidak bisa di lahan 0,5 hektare atau 1 hektare,” kata Agung usai meninjau proses produksi prisma garam milik PT Antara Tirta Karisma di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, baru-baru ini.
Agung menyebutkan saat ini di Cirebon baru ada 2,5 hektare lahan garam yang dikelola menggunakan prisma garam. “Kita ajak masyarakat mengembangkan teknologi ini. Kita perbaiki suplai airnya dan lainnya. Penggunaan teknologi ini bisa panen sepanjang tahun, tak terpengaruh musim,” katanya kepada Detik.
Agung tak menampik produksi garam rakyat tak mencukupi kebutuhan untuk garam industri. Agung mengklaim saat ini produksi garam di Indonesia mencapai 3,2 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan garam industri mencapai 4,4 juta ton. “Masih separuhnya. Tahun kemarin kita tambah satu juta ton per tahun, dari 2,2 juta ton per tahun menjadi 3,2 juta ton per tahun. Garam harus kita angkat sebagai ikon baru,” ucap Agung.
Agung mendorong agar masyarakat atau petambak garam membuat kelompok garam. Dengan demikian, lanjut dia, lahan produksi garam bisa terintegrasi sehingga memudahkan penggunaan teknologi prisma. “Solusinya petambak garam harus berkumpul membuat kelompok, kerjasama dengan investor atau pemda. Polanya kemitraan. Jadi petambak itu seperti pemegang saham saja,” katanya.
Dia mengatakan saat ini pemerintah tengah mengembangkan produksi garam di wilayah timur Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Sudah ada 400 hektare, sudah jalan sebentar lagi panen. Kita buka lahan baru juga di timur seluas 3.720 hektare. Kita akan gunakan teknologi sederhana ini,” kata Agung.
“Kalau produksinya banyak maka impor bisa kita tutup. Dalam waktu singkat akan kita upayakan,” tambah Agung.
Di tempat yang sama, salah satu petambak garam sekaligus pengawas PT Anta Tirta Karisma mengatakan pihaknya mengembangkan lahan seluas 2,5 hektare untuk produksi garam kristal, garam yang dihasilkan melalui teknologi prisma. Setiap tahunnya perusahaan tersebut bisa memanen garam sekitar 300 hingga 400 ton. “Masa panennya sekitar tujuh hari. Kandungan NaCl bisa sampai 98%. Harga jual per kilogramnya saat ini Rp 2.000,” kata Heri.
Heri menjelaskan proses produksi garam kristal tersebut. Air laut dialirkan melalui delapan kolam yang ditutupi membran plastik berbentuk setengah lingkaran. Totalnya ada 160 kolam yang dilengkapi plastik membran. Sebanyak 28 kolam di antaranya merupakan kolam proses pencetakan garam.
“Jadi dari kolam pertama sampai kolam ke delapan itu air laut dialirkan, sampai menghasilkan air yang tua. Ini untuk menghasilkan garam yang berkualitas. Ini metodenya prisma, cuma kita bentuknya setengah lingkaran,” kata Heri.
Dari proses produksi metode tersebut, dikatakan Heri perusahaannya tak hanya menghasilkan garam. “Ada artemia, kemudian ada rumput laut juga. Ada juga air penyulingan, air dari embun prisma yang bisa langsung diminum dan lainnya,” kata Heri. [AF-05]
agrifood.id //agrifood.id@gmail.com
Be the first to comment