Prospektif untuk Herbal, Biofarmaka Jadi Primadona Generasi Muda

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Suwandi (kanan)

Jakarta – Indonesia memiliki beragam tanaman obat atau biofarmaka yang untuk keperluan herbal. Potensi ini bakal menjadi primadona bagi generasi milenial karena peluang peluang bisnis ekspor yang menjanjikan.

“Ada 14 komoditas biofarmaka jenis rimpang yakni jahe, kunyit, lengkuas, lempuyang, temu lawak, temu kunci, temu ireng dan dlingo yang sangat diminati dan pasarnya bagus. Permintaan ekspor jahe dan kunyit sangat tinggi. Masih ada lagi 52 komoditas jenis nonrimpang, seperti kapulaga, mengkudu, sambiloto, mahkuto dewa, lidah buaya, dan lainnya,” kata Suwandi ketika memberikan kuliah umum kepada 175 lebih mahasiswa dan civitas akademika Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Yogyakarta-Magelang, Selasa (11/12).

Dikatakan, minat generasi muda sangat tinggi di beberapa daerah sejalan dengan permintaan pasar yang terus meningkat. Di Polbangtan Yogyakarta saja, sudah tercatat 35 mahasiswa yang dalam program studi agribisnis biofarmaka. “Petani biofarmaka di banyak daerah sangat senang karena permintaan pasar tinggi,” ujarnya melalui keterangan tertulis.

Suwandi menekankan transformasi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang merubah STPP menjadi Polbangtan guna mendorong generasi muda berbisnis pertanian termasuk biofarmaka. Apalagi, seluruh aktivitas usaha biofarmaka mulai hulu hingga hilir sangat menantang untuk dikembangkan.

Dia menjelaskan pada 2018, ekspor tanaman obat seperti jahe mencapai 2.000 ton, saffron 1.000 ton, turmeric 7.000 ton, kapulaga 6.000 ton dan tanaman biofarmaka lainnya 1.000 ton. Selama ini bisnis biofarmaka lebih maju seiring berkembangkan industri herbal dan gaya hidup back to nature.

“Produk tanaman obat ini sebagai pemasok untuk industri herbal, rumah sakit, salon kecantikan, bahan kosmetik, spa dan lainnya,” ungkapnya.

Direktur Polbangtan Yogyakarta-Magelang Rajiman mengatakan tahun ini pihaknya menerima 175 mahasiswa yang bakal mendapatkan lebih banyak praktik, kemampuan manajerial, disiplin dan leadership.

“Mereka dididik ketat dan masuk asrama, tidur jam 11 malam dan bangun jam 3. Pada hari tertentu wajib berbahasa inggris dan juga rutin ada materi keagamaan. Bobot praktik 70 persen sehingga diharapkan nanti menjadi wirausaha yang tangguh dan berkelas dunia,” kata dia.

Secara terpisah, Jati Kuswardono yang juga eksportir dari Yogyakarta mengatakan ekspor jahe gajah dan jahe emprit ke Bangladesh mencapai 300 ton per tahun. Pasokan diperoleh dari petani di Cianjur, Sukabumi, Banjarnegara, Ponorogo dengan harga jahe gajah di petani berkisar Rp 4.500 hingga 7.000 per kg dan jahe emprit Rp 9.000 hingga 12.000 per kg. Permintaan ekspor sangat tinggi, justru pasokan masih kurang dan kualitasnya perlu ditingkatkan lagi.

“Selain jahe, kita juga ekspor kentang granula ke Singapura, kemiri ke Tiongkok,” jelasnya. [AF-03]

agrifood.id  ||  agrifood.id@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*