Jakarta, AF – Setelah kisruh impor beras akibat data yang tidak valid, rumput laut pun segera menyusul. Sejak 2013 hingga hingga Oktober 2017, produksi rumput laut kering diklaim surplus 3,4 juta ton. Basis data yang masih perlu dipertanyakan itu menyebabkan investasi dalam industri rumput laut menjadi berlebihan. Hal ini bisa terlihat dari pelaku industri pengolahan yang kesulitan bahan baku.
Demikian disampaikan Asosiasi Industri Rumput Laut (Astruli) dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta, Kamis (18/1), menyikapi data yang simpang siur sehingga berdampak pada dunia usaha pengolahan dan industri rumput laut. Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Umum Astruli Soerianto Kusnowirjono, Wakil Ketua Umum Astruli Sasmoyo Boesari, Sekjen Astruli Arman Arfah, dan beberapa pelaku industri rumput laut. Astruli beranggotakan 21 pelaku industri dengan kapasitas sekitar 76% dari total produksi olahan rumput laut nasional.
Data yang dihimpun Astruli selama periode 2013-2016 menunjukkan kelebihan produksi hingga 3,4 juta ton rumput laut kering. Pada tahun 2016, data produksi rumput laut kering dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencapai 1,1 juta ton dan ekspor sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 188.298 ton. Sedangkan pembelian oleh industri dalam negeri baru sekitar 135.000 ton sehingga ada kelebihan produksi pada tahun 2016 mencapai 776.702 ton rumput laut kering.
“Demikian juga pada tahun 2015, kelebihan produksi mencapai 778.129 ton rumput laut kering. Ini sebenarnya terjadi sejak tahun 2010 lalu,” kata Soerianto.
Sasmoyo menambahkan bahwa fenomena data produksi beras yang tidak akurat, bahkan antarinstansi pemerintah, telah berdampak luas dalam kebijakan dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada rumput laut dan berdampak pada beberapa aktivitas industri turunan rumput laut.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Sasmoyo, data produksi rumput laut diklaim terus meningkat. Namun, para pelaku industri pengolahan rumput laut justru kesulitan bahan baku. Hal itu menjadi indikasi bahwa Indonesia sudah kelebihan investasi pengolahan yang awalnya didasarkan pada data produksi yang berlebih tersebut. Bahkan, ada beberapa pabrik pengolahan malah tutup karena kesulitan bahan baku sejak beberapa tahun lalu.
Selain itu, lanjut Sasmoyo, jika produksi berlebihan seharusnya harga rumput laut turun di pasaran. Faktanya, terjadi kenaikan harga di beberapa sentra rumput laut. Kenaikan harga sejak akhir 2017 lalu itu karena pasokan rumput laut yang terbatas atau sedikit.
“Produksi diklaim berlebihan, tetapi harga rumput laut kering tetap tinggi. Biasanya harga berkisar sekitar Rp 9.000-10.000 per kilogram, tetapi sejak akhir 2017 lalu malah naik menjadi Rp 25.000 per kilogram. Ini kondisi yang sangat aneh. Kalau produksi berlebihan, harganya harus turun,” kata Presiden Direktur PT Indonusa Algaemas Prima ini.
Pakar dan peneliti rumput laut dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jana Tjahjana Anggadireja mengatakan kelebihan produksi yang sangat besar tersebut tidak bisa dibuktikan karena faktanya tidak ada. “Kalau dicari kelebihan produksi setiap tahun tersebut ada dimana, tidak ada barangnya. Jadi kemana jumlah rumput laut yang sangat banyak itu disimpan. Adakah pihak yang menimbun sebanyak itu,” kata Jana. [AF-02]
Be the first to comment