Bogor, AF – Menanggapi masalah perberasan dan polemik impor beras, sekarang banyak muncul pemerhati dan penulis yang seolah-olah mengerti 100% tentang masalah perberasan nasional. Banyak analisa dan tulisan di sejumlah media (cetak dan online) mendukung impor beras untuk mengatasi kekurangan persediaan (stock). Dalam hati saya tertawa karena sebenarnya mereka tidak mengerti kondisi lapangan dan akar masalah dari polemik ini serta solusi terbaiknya seperti apa. Yang perlu dipertanyakan, mengapa begitu banyak pernyataan (statement) dan apa kepentingan dari tulisan mendukung impor tersebut?
Jika dirunut ke belakang, lonjakan harga beras medium sampai di atas Rp 12.000/kilogram (kg) yang terjadi pada minggu pertama Januari 2018 disebabkan ketidakmampuan pemerintah dan Perum Bulog dalam mengendalikan harga di pasar. Hal itu karena pemerintah dan Bulog tidak punya persediaan beras medium dan beras premium atau dengan kata lain tidak memegang riil beras kategori tersebut di gudang Bulog. Tetapi, cara mengendalikannya dengan membuat Peraturan Menteri tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium di Rp 9.450/kg dan premium di Rp 12.800/kg.
Rupanya, pasar tidak bisa hanya ditekan dengan peraturan dan ancaman karena begitu harga gabah di lapangan sudah mencapai Rp 5.000/kg maka secara hitungan matematis memproduksi beras medium penggilingan akan rugi Rp 500/kg dari setiap beras medium yang diproduksinya. Semua penggilingan akan beralih ke produksi beras premium yang secara hitungan sederhana masih ada margin jika dengan HET Rp 12.800/kg.
Sementara, sebaran konsumsi beras nasional adalah beras medium sekitar 80%, beras premium 10% dan beras untuk Rastra/Raskin 10%. Rastra adalah Beras untuk Rakyat Sejahtera, yang menggantikan Beras untuk Rumah Tangga Miskin atau Raskin. Dengan peralihan penggilingan pada beras premium, persediaan beras medium benar-benar hampir tidak ada di pasaran sementara pemerintah dan Bulog tidak pegang stock kategori beras tersebut untuk melakukan penetrasi pasar lewat Operasi Pasar (OP). OP yg dilakukan pemerintah di bulan Desember 2017 lewat stock beras Rastra/Raskin hanya dianggap angin lalu sama pasar karena memang itu kategori beras yang beda.
Pada 13 September 2017 lalu, saya sudah menulis di media sosial dan media online tentang Sinyal Bahaya Perberasan karena waktu itu harga gabah di lapangan sudah menyentuh harga di atas 5.000/kg. Itu berarti, kurva pergerakan harga gabah di akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018 pasti akan menyentuh harga di atas 6.000/kg.
(Baca : Sinyal Bahaya Perberasan Indonesia Jelang Akhir Tahun 2017)
Kalau pemerintah dan Bulog tidak punya persediaan beras medium dan premium lalu kemudian impor untuk penetrasi pasar di akhir tahun, seharusnya jangan malu. Tapi yang terjadi adalah tidak melakukan impor pada bulan Oktober 2017, malah sebaliknya melakukan kampanye di media tentang surplus produksi beras dengan klaim luasan panen yang banyak setiap bulan di masing masing daerah.
Setelah kejadian beras medium menyentuh harga di atas Rp 12.000/kg, baru semua kebakaran jenggot dan mendorong serta memgeluarkan kebijakan impor. Padahal sekarang sudah mulai memasuki panen dan akan mencapai puncaknya di bulan Maret 2018. Harga beras pun sekarang sudah mulai mengalami penurunan, di pasar Jabodetabek harga beras medium di level Rp 11.000/kg dan akan bergerak turun terus sampai ke titik terendah sekitar Rp 8.000-an/kg di puncaknya panen raya. Tanpa perlu impor memang kurva harga beras setelah mencapai puncak tertinggi pasti akan turun dengan sendirinya setelah Demak, Jawa Tengah, mulai panen.
Untuk antisipasi masalah seperti ini muncul kembali pada tahun-tahun mendatang sebenarnya ada solusi sederhana. Pemerintah lewat Bulog harus pegang persediaan untuk Rastra/Raskin dan cadangan bencana 10% (sekitar 2.5 juta ton setahun) dan punya persediaan beras medium 1 juta ton serta beras premium 500.000 ton saja sudah cukup untuk mengendalikan harga di saat harga di pasaran tinggi dengan melakukan Operasi Pasar. Pengadaan beras medium dan premium yang dilakukan di bulan Juli-Agustus untuk persediaan yang dilempar ke pasar pada bulan Desember-Januari.
Hal ini pernah dilakukan waktu tahun 2015, dimana saat itu Bulog melakukan pengadaan beras medium di harga Rp 8.800/kg dan beras premium pada harga Rp 9.200/kg. Pengadaan itu dilakukan selama bulan Juli-Agustus 2015 dan dilepas ke pasar pada bulan Desember 2015 sehingga harga beras saat itu tidak pernah menyentuh di atas Rp 10.000/kg. Strategi seperti ini yang searusnya dilakukan karena sudah ada keberhasilan (success story) yang pernah dilakukan. Bukan malah melakukan impor beras. Mengapa langkah yang baik dan strategi yang jitu untuk mengendalikan harga tanpa mengorbankan petani malah hilang untuk tahun 2016-2017 ini? Jangan-jangan semua pengambil kebijakan sudah disusupi sama mafia impor sehingga impor beras terpaksa dilakukan pada awal tahun ini?
Petrus Budiharto
Praktisi dan Pemerhati Perberasan
Ketua Bidang Pendampingan dan Pemberdayaan Petani Peta Nusa
Be the first to comment