Dalam setiap musim terutama bulan November-Januari setiap tahun merupakan masa dimulainya kenaikan harga beras. Biasanya mencapai puncaknya pada bulan Januari dan bahkan sampai Februari menjelang musim panen raya berikutnya. Hampir setiap musim puncak harga beras terjadi pada bulan-bulan tersebut. Hal ini terjadi karena areal panen yang sudah berkurang banyak di sentra-sentra produksi sementara kebutuhan beras nasional rata-rata mencapai 2,75 juta ton/bulan.
Bulan Agustus – Oktober biasanya harga beras masih agak rata walau ada pergerakan naik sedikit demi sedikit. Namun, mulai bulan September tahun 2017 ini menunjukkan kejanggalan alias terjadi anomali. Harga gabah kering panen (GKP) di lapangan sudah di kisaran 5.600/kilogram (kg). Dengan estimasi rendemen sekitar 56% maka modal penggilingan sudah 10.000 per kg. Ini belum termasuk biaya produksi dan angkutan ke pasar atau distribusi.
Ini merupakan fakta yang saat ini tengah terjadi. Timbul sejumlah pertanyaan, apakah banyak terjadi gagal panen di sentra sentra produksi beras ? Ataukah karena pengaruh kebijakan penentuan harga eceran tertinggi (HET) oleh pemerintah? Atau ada faktor lain sehingga harga di lapangan agak liar dan susah dikendalikan, apalagi dengan adanya desakan dari sebagian orang entah benar-benar mewakili petani atau kelompok tertentu yang mengingkinkan harga GKP 7.000/kg. Sayangnya, desakan harga itu tanpa menyiapkan strategi dan solusi agar harga beras di lapangan tetap bisa dikendalikan dan tidak menimbulkan gejolak serta inflasi terhadap ekonomi Indonesia.
Dengan HET untuk beras medium 9.450/kg maka penggilingan-penggilingan kecil dan menengah yang dihantam karena untuk sekedar beroperasi saja sudah minus. Ujung-ujungnya penggilingan tidak akan beroperasi dan terjadi kelangkaan beras di lapangan.
Ironisnya, kondisi tersebut sudah mulai terjadi dengan indikasi dari lapangan adalah harga gabah di 5.600 per kg. Lalu harga pokok penjualan (HPP) penggilingan pada tingkat 10.000 per kg, lalu HET beras medium 9.450 per kg. Dengan fakta-fakta itu maka kondisi ril pada agen-agen beras kecil seputar Jabodetabek menunjukkan jumlah beras yang mulai berkurang pasokannya. Kalaupun ada harganya sudah di atas 10.000/kg untuk beras yang bagus dan harga 9.000/kg untuk beras yang kurang bagus.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari fakta-fakta ini? Bahwa pemerintah melalui Satgas Pangan hanya serius dan ketat mengawasi (mantengin) harga beras di pasar induk agar sesuai HET tapi belum melakukan aksi bagaimana menurunkan harga secara umum sesuai HET. Padahal, langkah itu bisa dilakuka dengan operasi pasar.
Apakah dengan mengeluarkan kebijakan penentuan HET beras itu sebuah solusi terhadap kondisi yg terjadi di lapangan? Apakah sudah ada solusi?
Patut dicatat bahwa saat ini baru bulan September saja kondisi perberasan sudah seperti ini. Bagaimana pada bulan Oktober, November, Desember dan Januari? Sementara stok pemerintah yang ada di Gudang Bulog hanya sekitar 1,7 juta ton yang itupun peruntukannya untuk rastra kurang lebih 220.000 ton per bulan dan cadangan bencana. Bulog tidak punya pasokan beras medium dan premium baik lewat pengadaan dalam negeri maupun impor untuk operasi pasar saat harga beras sudah di atas 10.000 per kg.
Kalau kondisi seperti ini dibiarkan saja maka yg akan terjadi adalah masyarakat resah dengan harga yang membumbung tinggi. Jangan sampai niat baik pemerintah tidak diikuti dengan implementasi yang benar dan strategi yang tepat sehingga rakyat hanya jadi korban. Ditambah lagi dengan kondisi perpolitikan nasional yang masih semrawut maka tidak menutup kemungkinan bakal memicu atau dimanfaatkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Ingat, kekisruhan sebagian besar perpolitikan dunia salah satunya dipicu oleh masalah perut. Indonesia punya banyak pengalaman tersebut sehingga seharusnya bisa diantipasi. Semoga pemerintah punya jalan keluar untuk mengantisipasi lima bulan ke depan dan dalam jangka panjang bisa mewujudkan kedaulatan pangan.
Petrus Budiharto
Praktisi perberasan yang juga Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pendampingan
Perkumpulan Petani dan Nelayan Nusantara (Peta Nusa).
Be the first to comment