Bogor, AF – Impor pangan, seperti beras, belakangan ini menimbulkan pro dan kontra. Terlepas dari kisruh yang berkembang, kebijakan melakukan impor dalam batas dan tujuan tertentu bisa ditolerir. Namun, pemerintah harus tetap menjunjung tinggi nasionalisme pangan Indonesia.
Demikian salah satu benang merah dalam diskusi yang digelar Intensif Agro Maritim-Indonesia (IAM-Indonesia) di Omah CiTA (Rumah Cinta Tanah Air), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/1). Hadir dalam kesempatan sejumlah pendiri dan peneliti IAM-Indonesia, seperti Rachmad Tobing, Hirmen Syofyanto, dan Ali Saroni. Selain itu, hadir juga sejumlah intelektual muda, seperti Doni Yusri, Muhammad Karim, La Ode Untung dan Auhadillah.
Rachmad dan Hirmen menegaskan bahwa nasionalisme pangan yang diperlu didorong adalah berpihak dan cinta kepada produsen pangan di dalam negeri, yaitu petani, dan bukan sekadar anti impor. “Jadi bukan sekadar tolak impor, tetapi yang lebih penting adalah kebijakan yang berpihak kepada petani dan produksi dalam negeri itu merupakan salah satu wujud dari nasionalisme pangan. Petani dan keluarganya harus diberi insentif khusus agar mereka bisa lebih sejahtera. Misalnya insentif biaya pendidikan, kesehatan, dan insentif kesejahteraan lainnya,” kata Rachmad.
Dikatakan, impor apapun termasuk pangan merupakan sebuah keniscayaan. Ada berbagai hal yang bisa terjadi dalam penyediaan pangan sehingga terjadinya impor jangan sampai ‘diharamkan. Namun, hal itu patut didasari dengan kebutuhan dan argumentasi yang kuat.
Doni Yusri menambahkan bahwa pentingnya membangun nasionalisme pangan membutuhkan kontribusi semua pihak dan komitmen yang kuat untuk meningkatkan produktivitas petani. Apalagi, jumlah keluarga tani selalu berkurang dan begitu juga lahan sawah. Untuk itu sudah saatnya meninggalkan resource base agriculture menuju science and technology agriculture. Semua teknologi yang relevan bagi petani harus diaplikasikan.
“China dan Israel adalah contoh negara yang masif sekali dalam mengaplikasikan teknologi bagi pertanian sehingga kemajuannya pesat sekali dalam 10 tahun terakhir,” tutur doktor lulusan Universitas Gottingen ini.
Adapun Karim menegaskan bahwa salah satu bentuk dari nasionalisme pangan itu adalah memberikan peran negara yang besar dalam ketersediaan pangan. Perum Bulog harus mengambil peranan penting dalam memperkuat nasionalisme pangan tersebut. Belajar dari negara-negara lain, bila perlu diberi peran dan ‘monopoli’ mengingat pangan sangat strategis bagi setiap bangsa. Kapasitas Bulog dalam menyerap hasil produksi petani harus ditingkatkan.
“Pangan itu menyangkut hajat hidup orang banyak, negara yang harus bertanggung jawab. Operatornya adalah Bulog. Jadi, kapasitas Bulog yang hanya mampu menyerap 10 persen dari total produksi gabah itu tidak berdampak signifikan dalam mengintervensi pasar beras dalam negeri,” ujar pengajar Universitas Trilogi ini.
Untuk diketahui, IAM Indonesia merupakan salah satu wadah dalam mewujudkan kedaulatan dan memperkuat nasionalisme pangan. Kontribusi dari berbagai pihak, termasuk IAM-Indonesia, sangat penting dalam mengawal komitmen pemerintahan Joko Widodo agar tidak lagi terjebak dari cengkeraman ‘pangan” asing dan juga para mafia.
(Baca : Agro dan Maritim Belum Dioptimalkan, IAM Indonesia Siap Dideklarasikan)
“IAM Indonesia tidak anti asing, tetapi senantiasa mendorong kedaulatan bangsa berbasis sumber daya yang dimiliki, termasuk pangan. Kami hadir untuk memperkuat martabat bangsa ini yang dimulai dari pertanian. Diskusi ini salah satu bagian dari kerja besar tersebut yang akan digelar secara berkala,” ujar Gideon Ketaren yang juga Direktur IAM Indonesia. [AF-02]
Be the first to comment