Jakarta, AF – Keberpihakan pemerintah membangun desa-desa pesisir masih kurang. Padahal, kebutuhan dan besarnya potensi ekonomi desa pesisir memerlukan intervensi pembangunan. Regulasi, kebijakan dan dukungan pendanaan pemerintah belum mampu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi antarwilayah pedesaan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Abdi Suhufan menegaskan bahwa problem klasik pembangunan desa pesisir adalah perencanaan yang tidak terpadu, lemahnya konektivitas pembangunan antarsektor dan hubungan pusat-daerah. Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap program pembangunan yang teralokasi di desa-desa pesisir yang berkategori Daerah Tertinggal dan Pulau Terluar.
“Pemerintah mesti melihat kembali efektfitas Perpres 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal yang berbasis Kabupaten dan dioverlay dengan Keppres 6/2017 tentang Penetapan Pulau Terluar yang berbasis pulau,” kata Abdi dalam keterangannya, Rabu (4/4).
Dia mempertanyakan, apakah kedua regulasi tersebut dalam pelaksanaannya saling menguatkan, melemahkan atau tidak ada koneksi sama sekali. Demikian juga perlunya mengkaji manajemen Dana Desa sebesar Rp 60 triliun tahun 2018 ini. “Apakah secara signifikan teralokasi untuk membangun infrastruktur dan mendorong pemberdayaan desa-desa pesisir dan pulau terluar,” tegasnya.
Berdasarkan studi DFW-Indonesia di Provinsi Maluku, dari 11 kabupaten/Kota yang yang ada, 8 kabupaten tergolong Daerah Tertinggal. Salah satu kabupaten tersebut adalah Maluku Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan 28,1% dari 111.883 jiwa penduduk.
‘Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Maluku Tenggara Barat hanya 61,12, berada di peringkat 10 dari 11 kabupaten yang ada di Maluku,” kata Abdi.
Kondisi ini menggambarkan bahwa belum ada kemajuan dan perbaikan signifikan dalam mengatasi ketertinggalan wilayah di Maluku. Hal ini disebabkan karena implementasi program yang terfragmentasi berdasarkan sektor dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah untuk mendorong program-program pemberdayaan di desa-desa pesisir.
Padahal, potensi perikanan di Maluku bagi Selatan yang meliputi Kabupatten Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Kota Tual, dan Kabupaten Kepulauan Aru, pemerintah mestinya menyusun suatu grand desain pembangunan berbasisis perikanan yang terpadu dan terkoneksi antar satu daerah dengan daerah lainnya .
“Wilayah-wilayah tersebut memiliki potensi produski rumput laut yang sangat besar tapi tidak memiliki unit pengolahan/pabrik rumput laut yang sebenarnya bisa memberi nilai tambah” kata Abdi.
DFW-Indonesia meminta Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi yang telah membangun pabrik rumput laut di Maluku Tenggara Barat tahun 2010 tapi hingga saat ini belum beroperasi. “Menteri Desa mesti bertanggungjawab untuk mengaktivasi pabrik rumput laut di Saumlaki yang mangkrak sudah 8 tahun ini” kata Abdi.
Keberadaan pabrik rumput laut di Saumlaki akan mendorong peningkatan produksi rumput laut sebab nilai tambah dan harga jual oleh petani akan terjamin. Berdasarkan data produksi perikanan tahun 2016, dan produksi rumput laut kering sebesar 10.714 ton atau senilai 96,4 miliar. Kementerian Desa tidak perlu meluncurkan program baru, jika proyek lama yang mangrak belum berhasil diaktivasi. “Hal tersebut telah meninggalkan luka dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap program pemerintah,” katanya. [AF-03]
Be the first to comment