Jakarta, AF – Potensi rumput laut sebenarnya cukup besar. Sekitar 85 persen rumput laut di dunia berasal dari Indonesia sehingga pengolahan komoditas kelautan itu perlu dikembangkan. Ironisnya, industri pengolahan rumput laut di dalam negeri justru kesulitan bahan baku.
“Produk rumput laut luar biasa karena sekitar 85 persen pasokan rumput laut dunia dari Indonesia,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (19/1).
Menurut Panggah, industri rumput laut di Indonesia sudah ada sebanyak 35 perusahaan yang memproses komoditas itu menjadi agar-agar dan produk terkait lainnya. Sayangnya, ujar dia, perkembangan industri rumput laut itu masih tidak didukung pasokan bahan baku yang stabil sehingga utilisasinya dinilai masih sangat rendah.
“Utilisasinya rendah karena rumput laut mentah diekspor besar-besaran ke China,” katanya.
Untuk itu, dia mengajak berbagai pihak terkait agar dapat melakukan pembenahan dalam pengembangan rumput laut tersebut. Hal itu agar sektor industri pengolahan rumput laut memiliki produk keluaran yang lebih beragam dan menjadi barang jadi siap ekspor.
Secara terpisah, Asosiasi Industri Rumput Laut (Astruli) menyoroti data yang simpang siur sehingga berdampak pada dunia usaha pengolahan dan industri rumput laut. Astruli beranggotakan 21 pelaku industri dengan kapasitas sekitar 76% dari total produksi olahan rumput laut nasional.
Ketua Umum Astruli Soerianto Kusnowirjono dan Wakil Ketua Umum Astruli Sasmoyo Boesari mengatakan permasalahan data produksi rumput laut sudah mulai terjadi sejak tahun 2010-2011 lalu. Dalam perhitungan Atsruli yang merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maka sejak tahun 2013 hingga Oktober 2017, produksi rumput laut kering surplus 3,4 juta ton. Data yang meragukan itu mendorong investasi dalam industri rumput laut menjadi berlebihan. Hal itu harus dicegah dengan merevisi data produksi rumput laut secara nasional.
“Data produksi yang berlebihan itu menyebabkan investasi industri pengolahan rumput laut terus didorong. Kenyataannya, banyak pabrik pengolahan rumput laut yang tidak optimal beroperasi karena kesulitan bahan baku. Beberapa pabrik justru akhirnya mangkrak atau tutup,” kata Soerianto.
Sasmoyo menjelaskan pada tahun 2016, data produksi rumput laut kering dari KKP mencapai 1,1 juta ton dan ekspor sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 188.298 ton. Sedangkan pembelian oleh industri dalam negeri baru sekitar 135.000 ton sehingga ada kelebihan produksi pada tahun 2016 mencapai 776.702 ton rumput laut kering.
“Demikian juga pada tahun 2015, kelebihan produksi mencapai 778.129 ton rumput laut kering. Ini sebenarnya terjadi sejak tahun 2010 lalu,” kata Sasmoyo yang juga Presiden Direktur PT Indonusa Algaemas Prima ini.
Sasmoyo menambahkan bahwa fenomena data produksi yang tidak akurat antarinstansi pemerintah telah berdampak luas dalam kebijakan dan beberapa aktivitas industri turunan rumput laut.
Selain itu, lanjut Sasmoyo, jika produksi berlebihan seharusnya harga rumput laut turun di pasaran. Faktanya, terjadi kenaikan harga di beberapa sentra rumput laut. Kenaikan harga sejak akhir 2017 lalu itu karena pasokan rumput laut yang terbatas atau sedikit.
“Produksi diklaim berlebihan, tetapi harga rumput laut kering tetap tinggi. Biasanya harga berkisar sekitar Rp 9.000-10.000 per kilogram, tetapi sejak akhir 2017 lalu malah naik menjadi Rp 25.000 per kilogram. Ini kondisi yang sangat aneh. Kalau produksi berlebihan, harganya harus turun,” kata Sasmoyo. [AF-02]
Be the first to comment