Jakarta, AF – Indonesia memang negeri penuh ironi. Tidak hanya dalam kompleksitas persoalan internal seperti politik dan kebangsaan, masalah diplomasi dan keberpihakan pada kepentingan nasional pun menyimpan banyak pekerjaan rumah. Jika berbagai tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa dan dibunuh di luar negeri sering tidak diperhatikan, sebagian kalangan melihat hal itu sebagai sesuatu yang lumrah. Jangankan di luar negeri, di dalam negeri saja banyak warga tidak ada perhatian.
“Ada banyak bukti masyarakat ditelantarkan, menderita, dan akhirnya meninggal. Sekalipun, ada tekad kuat pemerintahan saat ini, itu tidak berarti semua persoalan sudah bisa diselesaikan. Korban-korban pencemaran di Laut Timor sejak 2009 lalu menjadi salah satu buktinya,” demikian celetukan wartawan senior Frans Padak Demon setelah menyaksikan pemutaran film A Crude Injustice yang disutradarai Jane Hammond. Frans yang lama berkarir di Voice of America (VOA) ini memberi perhatian khusus soal ledakan kilang minyak Montara yang mencemari Laut Timor hingga ke pantai-pantai dari 13 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam film dokumenter yang baru pertama diputar terbuka di Indonesia pada Selasa (20/6) lalu, Jane menampilkan sangat jelas sejumlah bukti dari pencemaran yang merusak rumput laut dan mematikan banyak ikan sehingga masyarakat pesisir pun kehilangan mata pencaharian. Lebih dari itu, para korban juga diserang penyakit akibat pencemaran cukup dahsyat dan diduga dari larutan kimia dispersan (Corexit 9500) untuk menenggelamkan minyak dari permukaan laut. Kilang minyak sumber pencemaran yang meledak pada 21 Agustus 2009 itu milik perusahaan patungan Australia dan PT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP), yakni PTTEP Australasia. PTTEP merupakan badan usaha milik negara (BUMN) terbesar di Thailand.
“A Crude Injustice memaparkan sangat jelas kesaksian dari korban yang sakit, kehilangan pekerjaan, putus sekolah, dan bahkan ada yang meninggal. PTTEP sebagai perusahaan induk dari PTTEP Australasia dan pemerintah Australia harus bertanggung jawab. Sekarang tinggal bagaimana penyelesaian dan memulihkan hak masyarakat NTT yang selama ini menderita dan sangat terlantar,” tegas Herman Jaya dari Ocean Watch Indonesia (OWI).
Di tengah terkatung-katungnya penyelesaian kasus Montara dan bertepatan dengan pemutaran film A Crude Injustice, manajemen PTTEP di Indonesia sepertinya beraktivitas tanpa beban. Meski pernah melontarkan untuk moratorium investasi di Indonesia, menyusul gugatan pemerintah RI senilai Rp 27,4 triliun pada awal Mei 2017 lalu, PTTEP sepertinya tidak melihat tragedi ini sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikannya.
“Kita berusaha memisahkan hal itu dengan PTTEP di Indonesia. Jadi, kami tidak terganggu dengan rencana investasi kami,” kata General Affairs Manager PTTEP Malunda Limited dan PTTEP South Mandar Limited, Afiat Djajanegara saat mengunjungi redaksi Bisnis Indonesia di Jakarta.
Uniknya lagi, kunjungan itu dilakukan pada hari yang sama dengan pemutaran film A Crude Injustice, Selasa (20/6). Beberapa hari sebelumnya, jajaran PTTEP Indonesia yang dibantu oleh konsultan dan pelobi dari APCO Worldwide juga mengunjungi redaksi Kompas. Bisa jadi ada lagi beberapa media nasional yang dikunjungi oleh perusahaan ini.
Menurut Afiat, apabila kasus tersebut sampai dikaitkan dengan kegiatan operasi PTTEP di Indonesia, maka akan merugikan investor dan pemerintah sendiri. Padahal, Indonesia tengah menghadapi bayang-bayang penurunan produksi migas dan sangat membutuhkan investasi.
Herman dari OWI menanggapi bahwa pernyataan Afiat tersebut sangat bertolak belakang. Beberapa hari setelah pengajuan gugatan yang dikoordinir Kementerian Perekonomian Maritim, manajemen pusat PTTEP di Bangkok mengatakan akan menunda investasi di Indonesia. “Pemerintah dan masyarakat Indonesia jangan sampai dikibuli lagi dengan berbagai strategi oleh PTTEP. Tentu banyak strategi yang digunakan oleh PTTEP dan ini harus diantisipasi,” kata mantan Sekjen Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Himapikani) ini.
(Baca : Thailand’s PTTEP suspends Indonesia investment over oil spill case)
Jika pernyataan Afiat itu didengar atau dibaca oleh Daniel Sanda, Jacob Sustenes Leo, atau Salman Londa yang mewakili petani rumput laut dalam film A Crude Injustice, tentu perasaan mereka sangat pedih dan terluka. Bayangkan, rumput laut dan ikan yang sebelumnya menjadi tumpuan hidup akhirnya lenyap hingga kehidupan petani rumput laut dan nelayan pun terkatung-katung. “Makan seadanya saja dan anak putus sekolah karena mata pencaharian kami hilang akibat minyak yang mematikan rumput laut dan ikan,” kata Daniel Sanda dalam film tersebut. Daniel bersama 15.481 petani rumput laut juga mengajukan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni yang selama ini mendampingi para korban mengatakan lebih dari 50.000 petani rumput laut dari 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak langsung pencemaran itu. “Ini baru bicara soal dampak pada rumput laut, belum lagi kerugian pada ikan yang tercemar dan kerusahan ekologis yang lebih dahsyat. Juga dampak sosial dan psikologis yang diderita masyarakat di Rote-Ndao, Sabu Raijua, dan sepanjang pantai selatan Pulau Timor, Pulau Flores, Pulau Sumba dan Alor,” kata Ferdi.
Ketika mengakhiri film tersebut, dengan mata berkaca-kaca, Ferdi menekankan penderitaan yang luar biasa hebat oleh masyarakat korban pencemaran. Hal itu karena selama ini tragedi Montara dianggap sepele oleh semua pihak, baik dari Indonesia dan Australia, sehingga memberi ruang bagi PTTEP untuk ‘melenggang’ tanpa merasa bertanggung jawab.
Belakangan ini, baik Jokowi dan Menko Maritim Luhut Panjaitan mulai memberi perhatian serius atas kasus ini. Semoga saja, niat baik tersebut bisa ditindaklanjuti oleh para pihak terkait sehingga para korban pencemaran bisa mendapatkan perhatian setelah hampir 8 tahun menderita tanpa kejelasan. [AF-02]
Be the first to comment