Bogor, Agrifood.id – Geliat porang meroket dalam beberapa tahun terakhir. Tanaman yang dulunya dianggap liar dan tidak berguna, kini butuh setidaknya Rp 4.000 per polybag (untuk ketinggian sekitar 20 centi meter/cm). Itu untuk benih yang berkualitas, belum lagi umbi dan biji katak (bakal tanaman porang) yang juga menjanjikan dalam jangka panjang.
Umbi porang sudah membuat ratusan petani terkaget-kaget karena memberikan hasil yang menjanjikan. Beberapa petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga Jawa Barat dan Banten, lalu di beberapa wilayah Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi juga perlahan-lahan membudidayakan porang. Padahal, hampir sebagian besar wilayah Timur Indonesia, terutama Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga kawasan Maluku dan Papua, porang banyak tumbuh di bawah naungan atau lahan-lahan hutan dan kritis.
Baca : Wisata Singkong Sentul, dari Olahraga Santai hingga Paham Tapioka dan Onggok
Kang Abey, sapaan akrab untuk Asep Ridwan, menemukan tanaman ini banyak di Pulau Timor dan Pulau Flores, NTT. Berkat Kang Abey inilah, porang di wilayah NTT menjadi berharga dan para petani pun mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman yang awalnya sering ditebas jika terlalu banyak bertumbuh di kawasan tertentu. Ketika Kang Abey hadir dan mengajak budidaya porang di Adonara, Flores, NTT, dia malah ditertawain.
“Itu banyak di hutan Bapa (sapaan untuk Bapak), kami buang-buang. Untuk apa Bapa ajak kami tanam-tanam, ambil saja tidak habis,” ujar Kang Abey yang mengutip seorang petani di Flores.
Baca : Tinggalkan Formalin, Produsen Tahu Harus Gunakan ‘Palata’
Memang, awalnya dianggap tidak berharga, sekarang para petani berlomba-lomba untuk budidaya. Konon kabarnya, Jepang dan beberapa negara lain sejak berabad-abad lalu sudah menjadikan porang sebagai campuran dalam berbagai produk, termasuk makanan.
Cerita petani dan porang yang semakin diburu itu akan diulas Agrifood.id dalam kesempatan lain. Kini, tanaman dengan nama latin Amorphophallus muelleri rupanya tidak hanya marak untuk budidaya dan ekspor, tetapi bisa menjadi tanaman yang menghiasi pekarangan atau taman. Hijau dan cerah, kemudian tegakkan yang tinggi dan kadang batang porang yang berbelang, ternyata bisa dipadukan dengan berbagai jenis bunga konvensional di bawah naungan pohon atau tanaman tinggi lainnya.
Tentu hal yang yang biasa untuk budidaya beberapa tanaman porang di pekarangan. Namun, melihat 2.000 hingga 2.500an porang di pekarangan tentu masih jarang. Adapun Frans Tsai, dokter jebolan Swiss, grand master senam energi Chikung, dan sesepuh dalam sejumlah urusan kemasyarakatan ini malah terpikat dengan porang sejak bertemu Kang Abey di Alor, NTT beberapa tahun silam.
“Ini sangat menarik, bertemu sesama orang Bogor di NTT. Tidak mudah lho menemui orang Bogor atau Jawa Barat di pelosok Indonesia,” guyon Pak Frans yang disambut tertawa beberapa rekan Kang Abey dari Akademi Usaha Perikanan (AUP) ini. Para pelaut yang sudah berlayar mendunia itu juga berencana untuk investasi mengembangkan porang dan bermitra dengan Kang Abey melalui Kebula Raya Bestari (KRB).
Setelah menjalani kegiatan kemanusiaan di Alor, Frans pun mendapatkan benih porang untuk dikembangkan. Pekarangan di Jalan Guntur, Taman Kencana, Bogor, yang biasanya hanya diisi beberapa tanaman seadanya, kini sudah dihiasi dengan ribuan porang. Jika pandemi Covid-19 berakhir, puluhan peserta senam Chikung setiap akhir pekan bisa mendapatkan pemandangan yang indah. Ibaratnya sehat dengan senam, mengembangkan energi positip, lalu ditambah bonus senyum bahagia melihat porang.
“Ini menarik sebagai hobi dan semoga bisa dikembangkan masyarakat lainnya. Silahkan datang melihat tetapi saya batasi menerima kunjungan karena kita harus patuh pada protokol kesehatan agar pandemi bisa berakhir,” ujar Frans yang pernah menjadi anggota DPR RI ini, akhir Januari lalu.
Menurut Frans, banyak potensi sumber daya alam di Indonesia yang membutuhkan ketekunan dan komitmen kuat untuk dikembangkan. Bahkan, sumber daya manusia (SDM) di Indonesia pintar-pintar dan tidak kalah hebat dengan negara lain. “Kita masih lemah dalam kerja sama dan minim ketulusan untuk mengembangkan sesuatu. Ini bisa berakibat fatal untuk perkembangan bangsa kita,” ujar Frans. [AF-02]
Agrifood.id || agrifood.id@gmail.com
Be the first to comment