Jakarta – Pelemahan rupiah yang menembus Rp 14.000 per dolar AS pada awal pekan ini patut diwaspadai. Hal ini akan menekan pertumbuhan ekonomi karena terkait dengan aktivitas ekspor dan impor Indonesia. Untuk komoditas pertanian berbasis ekspor, pelemahan rupiah baru mulai terasa dalam jangka panjang.
Hal itu ditegaskan ekonom yang juga guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar usai menjadi pembicara dalam workshop Pembiayaan Komoditas Pertanian di Indonesia yang digelar Himpunan Alumni Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (HA SB IPB), Rabu (9/5).
Dia menjelaskan pelemahan kurs rupiah ini harus dikaji dengan baik dan penuh kewaspadaan. Apalagi, jika dikomparasi dengan negara lain maka pelemahan rupiah di Indonesia justru paling besar. Untuk itu, situasi saat ini harus dikelola dengan baik.
“Kalau komparasi dengan negara lain sebenarnya gejolak di Indonesia lebih besar. Kita harus jujur untuk mengatakan hal ini, semakin bergejolak sebuah variabel ekonomi termasuk kurs, menunjukkan resiko semakin relatif tinggi. Jadi ekspor turun, investasi kita juga lari, dan capital outflow maka tekanan pada growth (pertumbuhan-Red) itu semakin besar. Kalau tidak diatasi dengan baik maka target pertumbuhan bisa saja tidak tercapai,” katanya.
Menurut Hermanto, dengan kondisi yang ada dan jika tidak ada terobosan yang berarti maka target pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebear 5,4% sulit tercapai. “Kalau 5,1-5,2% masih bisalah,” ujarnya.
Baca : Tingkatkan Perdagangan Komoditas Pertanian dengan Jepang
Berbeda dengan Hermanto, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa (8/5), tetap yakin bahwa target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2018 masih 5,4 persen, meski realiasi kuartal I 2018 hanya 5,06 persen.
Sri mengatakan pemerintah optimistis lantaran konsumsi masyarakat akan bertumbuh jelang hari raya Idul Fitri, hingga helatan Asean Games Agustus mendatang. Konsumsi tentu bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi mengingat 56,8 persen dari Produk Domestik Bruto berasal dari pengeluaran rumah tangga.
Baca : Akses Baru 30%, Perbankan Dukung Pendanaan Kopi dan Kakao
Dia juga menekankan pemerintah terus memantau pergerakan inflasi khususnya bahan pangan bergejolak (volatile food) jelang Idul Fitri. Jangan sampai, permintaan yang tengah membaik jadi terganggu dengan kenaikan harganya. Di samping itu, pemerintah juga berupaya meningkatkan daya beli masyarakat kurang mampu dengan menambah anggaran dan penerima bantuan sosial.
Hermanto menjelaskan bahwa dalam jangka pendek juga belum terasa dampak langsung pelemahan rupiah pada ekspor komoditas pertanian. Sekalipun harga ekspor kelapa sawit dan karet yang merangkak naik, efek dari pelemahan rupiah belum begitu terasa.
Hal ini juga ditekankan Presiden Director PT Asia Commodity Marketplace Arwadi J Setiabudi bahwa belum ada dampak langsung secara signifikan pada harga komoditas ekspor berbasis pertanian. Pergerakan harga komoditas pertanian semakin terasa pada fluktuasi rupiah yang berlangsung lama.
“Memang menguntungkan karena harga ekspor bisa meningkat. Untuk saat ini belum ada dampak tersebut,” katanya.
Selain itu, pergerakan harga komoditas ekspor di Indonesia sangat ditentukan oleh dominasi importir atau pembeli. Padahal, kontrak pembelian yang sudah disepakati biasanya bersifat jangka panjang (long term) sehingga fluktuasi rupiah yang singkat tidak banyak berpengaruh. [AF-03]
Be the first to comment