Bogor, AF – Anjloknya harga singkong tidak saja menimpa para petani di sentra-sentra produksi, seperti Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Imbas harga singkong juga dirasakan petani beberapa daerah lain seperti di Jasinga, Kabupaten Bogor.
Menurut salah satu petani Surya Widya, dirinya menanam singkong cukup banyak sejak beberapa tahun lalu. Namun, harga yang tidak beranjak naik menyebabkan singkong-singkong yang siap dipanen tetap dibiarkan.
“Untuk apa dipanen kalau harganya enggak masuk, Kang. Malah saya bisa rugi double karena harga singkong rendah, lalu biaya tenaga kerja. Ya sudah dibiarkan saja dulu,” ujarnya saat ditemui di Jasinga, baru-baru ini.
Sebenarnya, langkah Surya membiarkan singkong tersebut bisa dimaklumi. Hal ini dibenarkan oleh Sapto, sosok prajurit TNI yang akrab dengan para petani di Jasinga ini.
“Kami menawarkan ke beberapa warga Bogor agar singkong dibeli dengan harga yang wajar. Petani sangat menderita karena sudah menanam tetapi tidak bisa dijual dengan harga yang pantas,” tegas Sapto.
Selama berbulan-bulan, singkong siap panen pun dibiarkan. Meski terlambat panen, kondisi singkong masih tetap baik. Apalagi, untuk kebutuhan pakan atau diolah lagi, justru kandungan pati semakin baik pada singkong yang tua.
“Kalau untuk konsumsi manusia mungkin tidak bisa dibiarkan lama-lama. Kalau untuk diolah kembali tidak apa-apa,” jelas Surya.
Di tengah ketidakpastian itu, para petani singkong mendapatkan tawaran untuk memasok gaplek (singkong kering). Meskipun belum terbiasa mengolahnya, tawaran tersebut merupakan solusi yang baik. Dibandingkan menjual singkong dengan harga yang tidak wajar, olahan menjadi gaplek justru menjadi penyelamat. Saat ini, proses produksi gaplek oleh petani di Jasinga sudah dimulai.
“Singkong sudah mulai diolah menjadi gaplek. Dalam waktu dekat sudah bisa dikirim,” ujar Surya.
Harapan dan semangat petani Jasinga mulai bangkit karena singkong semakin dihargai secara wajar.
Meskipun, persoalan singkong yang dialami petani Jasinga adalah akibat dari kondisi makro saat ini. Kebijakan impor singkong dan olahannya membuat harga tidak bisa dibendung.
(Baca : Tata Niaga Dibenahi, Importir Harus Serap Singkong Lokal?)
Data dari Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan impor singkong (dan olahannya) sepanjang Januari-Juli 2017 mencapai 296 ribu ton. Sedangkan selama Juli 2017, impor sebesar 47,1 ribu ton. Impor ini sebagai bahan dasar untuk pembuatan tepung gaplek, tepung singkong, tepung mocaf, tepung tapioka, dekstrin, maltosa, dan lainnya. Dari Vietnam saja, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan impor singkong selama semester I mencapai US$ 613,2 ribu atau sekitar Rp 8 miliar. Rupanya negeri ini lebih senang membantu petani asing dibandingkan petani singkong sendiri yang tengah menderita. [AF-02]
Be the first to comment