Menelaah Upaya Swasembada Bawang Putih 2019

Ilustrasi bawang putih

Bagi penikmat bawang putih, tahukah bahwa tanaman ini adalah salah satu produk hortikultura tertua didunia. Bawang putih sudah digunakan penduduk Mesir dan India sejak 5000 tahun yang lalu. Dahulunya tanaman ini adalah tumbuhan liar yang banyak ditemukan disekitar China, India, Mesir dan Ukraina. Bawang putih menyukai iklim tropis dimana sinar matahari cukup dan tanah yang tidak menyimpan air atau cepat mengering dan berada di ketinggian. Tanaman ini cukup toleran bila menyangkut jenis tanah dan tekstur tetapi akan sangat baik kalau tanahnya gembur/mudah hancur di tangan dan memiliki kandungan organik yang tinggi.

China adalah penghasil bawang putih terbesar di dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. Lebih dari 80% total konsumsi bawang putih dunia dihasilkan dari sana. Ada lebih dari 20 juta metrik ton bawang putih dihasilkan oleh China, kemudian diikuti India sekitar 5%, Korea Selatan 1%, dan berikutnya Bangladesh. Mesir dan Rusia dengan jumlah produksi yang jauh lebih kecil.

Indonesia pada tahun 2016 mengimpor sekitar 444.300 ton bawang putih yang sebagian besar dari China ditambah sebagian kecil yaitu sekitar 3000 ton dari India. Coba bandingkan dengan kemampuan produksi negara kita dari tahun 2012 sampai 2015 yang cuma mampu menghasilkan produk ini tidak lebih dari 20.000 ton per tahun. Kurang dari 5% dari jumlah impor kita. Bisa dikatakan kita sangat tergantung pada produksi dari China, kecuali kita berani bilang tidak dan mau puasa mengkonsumsi bawang putih.

Apakah kita mampu memenuhi bawang putih dari dalam negeri sendiri? Statistik menunjukkan pada tahun 2016 terjadi lonjakan produksi bawang putih yang mencapai 211.000 ton. Walaupun belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi hasil ini cukup menggembirakan. Terjadi pertambahan yang cukup besar. Ada anggaran yang cukup besar dari Kementerian Pertanian khusus untuk mewujudkan swasembada bawang putih. Bahkan, sudah diusulkan penambahan dana hingga Rp 1 triliun agar swasembada bawang putih pada 2019. Dana tersebut selain digunakan untuk penyediaan lahan, pemerintah juga akan membantu sarana produksi (saprodi) seperti penyediaan benih dan tenaga ahli.

Semuanya itu dilakukan untuk menarik minat petani dalam berproduksi bawang putih. Kemudian, Perum Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan digandeng untuk membantu penyerapan hasil panen bawang putih.
Menurut perhitungan ada 60.000 hektare (ha) lahan yang akan disediakan untuk menghasilkan bawang putih, diperkirakan kurang lebih ada 500.000 ton bawang putih yang akan diproduksi apabila produktivitas per hektar sekitar 9 ton. Secara kalkulasi rencana ini akan membantu menyelesaikan masalah, kita akan memiliki produksi yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri sendiri.

Untuk itu, Kementerian Pertanian meminta tambahan anggaran sebesar Rp 1 triliun pada APBNP 2017 atau maksimal di APBN 2018, yang sebagian besar dialokasikan untuk benih. Infrastruktur bawang putih cukup mahal. Untuk benih saja, butuh anggaran sekitar Rp 40 juta per ha jika dikalikan 60.000 ha target diatas maka perlu sekitar Rp 2,4 triliun.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah pencanangan tanam serentak bawang putih pada Rabu (29/11) lalu oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura Kementerian Pertanian di Kabupaten Malang, Jawa Timur pada lahan seluas 30 ha. Penanaman tersebut melibatkan empat importir bawang putih, yakni PT Tunas Sumber Rezeki, PT Aman Buana Putra, PT Haniori, dan PT Niaga Tama, serta lima kelompok petani (poktan) di lima desa pada dua kecamatan, Pujon dan Poncokusumo. Penanaman serentak tersebut sebagai upaya memenuhi kewajiban tanam bagi para importir, sebagaimana dipersyaratkan dalam rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Kewajiban tanam 5 persen diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2017.

(Baca : Permentan 16/2017: Importir Wajib Tanam Bawang Putih)

Pertanyaan berikutnya adalah berapa lama strategi ini mampu menyelesaikan masalah bawang putih di Indonesia? Jika ada tambahan Rp 1 triliun tersebut, bisakah pemerintah merayu para petani mengalokasikan waktu, biaya, dan tenaganya untuk bawang putih? Seberapa kompetitif kualitas dan harga bawang putih lokal apabila tiba saatnya harus berkompetisi dengan bawang putih dari negara lain? Akankah petani tetap menanam bawang putih apabila sudah tidak ada lagi anggaran dari pemerintah? Seberapa siapkah dari sisi pengetahuan (knowledge) dan pergudangan bagi Bulog untuk menyimpan dan mendistribusikan bawang putih yang dibeli? Akankah nantinya bisnis ini cukup menguntungkan (profitable) buat Bulog untuk meneruskannya? Pengalaman dengan bawang merah, mudah-mudahan mampu mengingatkan Bulog sebab bawang putih juga akan menjadi bisnis yang baru. Jangan sampai usaha ini nantinya berujung kepada beban negara karena kerugian Bulog. Seberapa relakah masyarakat Indonesia membeli bawang putih produksi dalam negeri dengan kualitas yang lebih baik apabila nantinya ada pilihan bawang putih impor dengan harga lebih murah. Kita perlu berhati-hati agar strategi kita menghasilkan solusi yang berkesinambungan demi menikmati bawang putih milik sendiri. Semoga.

(Ditulis oleh Robert Raya, pernah mendampingi petani bawang merah di Nusa Tenggara Barat. Kini menjadi pengamat agribisnis dan menetap di Sydney, Australia).

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*