Jakarta – Potensi sumber daya kelautan dan perikanan belum dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan harus berbasis masyarakat. Demikian juga perlu dilakukan penataan infrastruktur kemaritiman dan pembatasan dalam pemanfaatan potensi dengan mengedepankan prinsip tanggung jawab dan berkeadilan.
Demikian salah satu benang merah dalam focus group discusion (FGD) yang digelar Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Intensif Agro Maritim (IAM) Indonesia di Jakarta, Selasa (10/4). FGD dihadiri oleh Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla RI Marsma TNI Widiantoro, pimpinan Bakamla, Direktur IAM Indonesia Gideon W Ketaren beserta jajaran dan para penelitinya. Dalam diskusi yang dipandu pengamat maritim dan dosen Universitas Trilogi Muhamad Karim itu juga dihadiri pimpinan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Johnson W Sutjipto dan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Disebutkan, berbagai potensi sumber daya kelautan dan perikanan tersebut seharusnya bisa bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Tidak saja komoditas yang ada dalam kelautan dan perikanan, tetapi posisi strategis sehingga Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Widiantoro dan Johnson Sutjipto meyakini bahwa posisi strategis Indonesia harus didukung sumber daya manusia, infrastruktur pelabuhan dn armada niaga. Dengan demikian potensi dan posisi strategis maritim bisa memberikan dampak secara langsung. Apalagi fakta menunjukkan sebanyak 70% volume perdagangan dunia di kawasan Asia Pasifik dimana 45% diantaranya melalui alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
“Bakamla mempunyai komitmen yang kuat untuk menopang potensi maritim Indonesia bisa lebih dioptimalkan,” kata Widiantoro.
Johnson menekankan dalam merealisasikan berbagai potensi tersebut maka koordinasi antarinstansi pemerintah harus lebih ditingkatkan. Persoalan koordinasi itu menjadi sorotan karena banyak melibatkan berbagai pihak dan memerlukan impelementasi sejumlah kebijakan dari pusat hingga daerah.
Dalam diskusi tersebut juga dibahas tentang perlunya optimalisasi sumber daya yang memberikan dampak langsung kepada para nelayan serta pelaku usaha perikanan skala kecil dan menengah di kawasan pesisir Indonesia.
Direktur IAM Indonesia Gideon Ketaren menekankan bahwa pemanfaatan potensi kelautan dan perikanan yang ada sangat tidak adil. Para nelayan dan masyarakat pesisir secara perlahan mulai tersisih. “Untuk itu perlu terobosan agar ada keberpihakan bagi nelayan serta pelaku usaha skala kecil dan menengah ini. Salah satunya dengan mendorong pengembangan kelautan sosial, sebagaimana dalam perhutanan sosial masyarakat ada keberpihakan yang jelas,” tegas alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
(Baca : Kisruh Soal Impor, IAM Indonesia Angkat Nasionalisme Pangan)
Pandangan ini ditegaskan Direktur Maritim IAM Indonesia Hirmen Syofyanto bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan harus berbasis masyarakat. Hal itu sangat dimungkinkan karena kearifan lokal dari masyarakat Indonesia sudah mempraktikan prinsip tersebut, seperti sasi dan awig-awig.
“Dengan prinsip sasi di Papua, Maluku atau kawasan Indonesia timur lainnya, serta awig-awig di Lombok dan Bali, pengelolaan potensi yang ada bisa berkelanjutan dan adil. Ada tanggung jawab dari berbagai pihak dalam memanfaatkan sumber daya yang ada,” tegasnya.
Dikatakan, prinsip berbasis masyarakat itu sangat diperlukan karena sistem pengelolaan ruang laut dan pemanfaatan sumber daya maritim di Indonesia sangat terbuka (open acces). Hal itu menyebabkan para nelayan dan masyarakat pesisir akan selalu tersisih akibat kalah dalam kompetisi dan mekanisme yang tidak adil.
Terkait pengembangan wisata, Doni Yusri yang juga doktor lulusan Universitas Gottingen, Jerman, menegaskan perlunya penataan secara menyeluruh agar pengelolaan wisata bahari semakin memberikan dampak pada masyarakat. Penegasan itu disampaikan karena ada kecenderungan pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai sarana wisata sangat eksklusif dan tidak memiliki dampak ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Ada pengalaman sewaktu di Raja Ampat, Papua Barat, ketika kapal kami diterjang badai sehingga harus mampir sebentar di pulau terdekat. Rupanya pulau itu sangat ekslusif untuk wisatawan asing sehingga kami nyaris ditolak untuk singgah. Padahal, hanya mampir sebentar menunggu cuaca mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Fenomena seperti ini perlu dibenahi lagi,” ujarnya. [AF-02]
Be the first to comment