20 Tahun Biokonversi, Asosiasi BSF Indonesia Memperkuat Ekonomi Sirkular

Peserta diskusi ABSF-I di Aula BRBIH KKP Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2024).

DEPOK, AGRIFOOD – Teknologi biokonversi menggunakan magot (larva black soldier fly/BSF) telah menjadi inovasi yang makin populer di masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Mulai dari perannya sebagai sumber pakan (ikan dan ternak), mengatasi masalah lingkungan, perbaikan kualitas lahan pertanian hingga sumber ekonomi masyarakat.

Dalam keterangan tertulisnya, Asosiasi BSF Indonesia (ABSF-I) menegaskan perlunya melahirkan cara pandang baru sangat penting bagi negara-negara tropika yang hingga sekarang belum satu pun bisa menjadi negara maju. Hal itu karena belum bisa memanfaatkan sifat iklim tropika yaitu panas, lembab, basah yang menyebabkan semua bahan organik cepat terdekomposisi. Dengan sinar matahari sepanjang yang menyebabkan tingginya tingkat keanekaragaman hayati.

Baca : Perlu Reformulasi Makanan Kemasan, Dorong Rancangan Perpres Susut dan Sisa Pangan

Perjalanan inovasi biokonversi di Indonesia dari tahun 2004 hingga saat ini telah menjadi “jendela inovasi” yang menginspirasi banyak masyarakat dan dunia industri. Di sisi lain, tidak sedikit juga kendala dan tantangan yang seharusnya bisa diatasi secara bersama. Berangkat dari perjalanan tersebut, ABSF-I sebagai organisasi mewadahi para pelaku teknologi biokonversi (peneliti, akademisi, industri, komunitas, dll) dalam visi “kelola sampah menjadi berkah”.

“Memasuki usia ke 20 tahun biokonversi, kehadirannya telah membawa dampak yang sangat signifikan baik terhadap lingkungan (degradasi food waste, reduksi emisi karbon), menghadirkan protein terbarukan menuju pangan mandiri, menghadirkan lapangan kerja dan industri baru dalam bingkai ekonomi sirkular,” kata Ketua Umum ABSF-I Prof Agus Pakpahan.

Dalam merefleksikan dan merayakan perjalanan 20 Tahun Biokonversi di Indonesia tersebut, ABSF-I menyelenggarakan Diskusi Nasional BSF dengan tema Dukungan BSF dalam Membangun Ekonomi Sirkular dan Pengurangan Emisi Karbon. Kegiatan ini menghadirkan pelaku budidaya, pengguna maggot, pemerintah, lembaga swadaya/ pemberdayaan masyarakat, institusi keuangan dan komunitas lingkungan yang digelar Sabtu (30/11/2024) di Aula Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRBIH KKP), Depok, Jawa Barat.

Baca : Paket Budidaya Organik, Bisa Buat Klapertart dari Singkong, Cassava Brulee, dan Aneka Kuliner

Diskusi tersebut menghadirkan Rosa Vivien Ratnawati (Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup), Mohamad Rahmat Mulianda (Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas), dan Priyanto Rohmattullah, SE, MA (Direktur Lingkungan Hidup Bappenas). Kemudian Bram Dortmans (Eclose GmbH), Chalid Muhammad (Ketua Dewan Sampah Indonesia) dan Markus Susanto (CEO PT Maggot Indonesia Lestari).

Sekjen ABSF-I Melta Rini menjelaskan kehadiran ABSF-I sebagai wadah koordinasi penggiat, akademisi, pemerintah, dan pengusaha menjadi katalisator pengembangan magot masa depan. ABSF-I merupakan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi dan fasilitasi usaha antara pihak ABSF-I dan pemerintah serta dunia usaha dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi usaha di Indonesia.
Dikatakan, inovasi biokonversi lahir dari tantangan dan permasalahan terbesar pembudidaya ikan di Indonesia yaitu ketersediaan pakan dengan kualitas bagus dan harga terjangkau. 60-70% biaya produksi ikan dikeluarkan untuk pembelian pakan. Di sisi nutrisi “terbuang” sia-sia di alam dalam bentuk sisa organik makanan”, menjadi masalah lingkungan, penyebaran penyakit serta bau yang tidak mengenakan.

Sebagai informasi, Indonesia pada tahun 2023 menghasilkan 38.7 juta ton sampah nasional dengan timbulan 106,2 ribu ton/hari berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Khusus timbulan sampah organik makanan tercatat 15,4 juta ton per tahun atau setara 42,2 ribu ton per hari. Adapun 39,82% dari total volume sampah merupakan sampah organik makanan, dengan karakter; kandungan air yang tinggi, mengeluarkan bau yang tidak menyenangkan, nilai ekonomis rendah, dan menjadi tempat hidup dan berkembangnya bakteri patogen, kondisi ini sering sekali mengurungkan niat banyak pihak untuk mengelolanya.

Menurut kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama sejumlah lembaga, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebesar Rp 213 – 551 triliun/tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun. Secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun.[AF-04]

Advertorial
IpeComm melayani jasa editor, penulisan kreatif, media/public relation, komunikasi (government/community/private), promosi, business intelligent, analisis media, hingga crisis management. Didukung tim ahli & profesional, berpengalaman luas dalam komunikasi dan pernah berkarir di sejumlah media nasional/internasional. Bisa hubungi 081356564448 atau agrifood.id@gmail.com.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*