Jakarta, AF – Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mendukung impor yang diawasi secara ketat. Hal itu untuk menjamin pembelian singkong (ubi kayu) petani oleh importir. Dalam jangka panjang, MSI menawarkan program peningkatan kesejahteraan petani melalui penerapan sistem klaster singkong terpadu.
Demikian disampaikan Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Pusat Suharyo Husein di Bogor, Selasa ((20/6).
Dia menegaskan bahwa impor bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun, program mengangkat potensi singkong lokal dan memberdayakan para pelakunya perlu dilakukan semua pihak.
(Baca : MSI Berharap Terlibat dalam Rekomendasi Impor Singkong)
Untuk itu, MSI menawarkan program peningkatan kesejahteraan petani melalui penerapan sistem klaster singkong terpadu (sistem klaster terpadu). Sistem itu akan dilakukan secara serentak di 33 provinsi, 74 kabupaten dengan 148 klaster.
“Ini menggunakan model kawasan. Satu klaster terdiri atas luasan 300 hektare dengan 120 kepala keluarga petani singkong. Jika program klaster dilakukan konsisten, maka Indonesia tidak akan impor lagi dan kesejahteraan petani singkong bisa ditingkatkan,” ujar Suharyo.
Dia menjelaskan, sistem klaster tersebut akan didukung oleh 74 petugas penyuluh lapangan (PPL) dan 74 badan usaha milik petani ( BUMP). Adapun target dari produksi singkong dari program ini sekitar 40 ton/ha sehingga dari 44.400 ha dalam program ini akan memproduksi 1.776.000 ton singkong segar atau setara dengan 444.000 ton tapioka. “Produksi ini diutamakan untuk memasok pabrik-pabrik pengolahan yang banyak tumbuh di Indonesia (tapioka, pabrik mocaf, dsb ).
(Baca : Jadikan Singkong Sebagai Komoditas Strategis)
Sebelumnya, MSI menegaskan bahwa impor singkong akan berdampak banyak pada produksi dan para petani lokal. Selain harga yang lebih murah dan bisa menjatuhkan harga singkong, industri yang terkait lainnya juga akan lebih memilih jalan pintas.
“Akibatnya, gairah produksi produksi singkong lokal juga terus menurun,” tegasnya. [AF-02]
Be the first to comment