Kisruh Beras PT IBU, Benarkah Petani Diuntungkan?

Gabah petani yang diangkut menuju penggilingan beras.

Jakarta, AF – Kisruh beras sejak akhir pekan lalu ternyata masih berbuntut panjang. Masing-masing pihak cenderung melihat dari sisinya masing-masing, baik pemerintah (termasuk polisi), pedagang atau pelaku usaha, hingga sejumlah pakar pertanian. Lalu bagaimana dengan nasib petani dalam polemik beras tersebut?

Perkumpulan Petani dan Nelayan Nusantara (Peta Nusa), salah satu organisasi berbasis petani, menegaskan bahwa polemik beras belakangan ini belum berpihak pada kepentingan petani. Hal itu menunjukkan bahwa komitmen pada pemberdayaan petani masih perlu ditingkatkan dan polemik beras harus mempertimbangkan nasib petani.

Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Peta Nusa Uun W Untoro dan Ketua Bidang Pemberdayaan Petani Petrus Budiharto di Jakarta, Selasa (25/7).

Uun dan Petrus menegaskan bahwa kalaupun ada beberapa pihak yang menyinggung tentang petani terkait dengan subsidi dan harga beras, hal itu harus ditelaah lebih jernih sehingga tidak menimbulkan salah kaprah. “Kami dari Peta Nusa mau membahas polemik beras sehingga petani semakin diberdayakan dan sejahtera,” kata Uun.

Uun menjelaskan bahwa upaya mendorong harga beras tidak mahal patut diapresiasi. Apalagi, salah satunya, untuk menekan inflasi yang selama ini disumbangkan oleh harga beras. Di satu sisi, animo konsumen dalam membeli beras premium dengan harga khusus patut difasilitasi karena mengalami proses tertentu.

Namun, lanjut Petrus, pendekatan kebijakan seperti itu justru harus ditelaah lebih teliti sehingga tidak berdampak serius bagi petani. Artinya, pembatasan harga melalui kebijakan harga eceran tertinggi (HET), bisa saja berdampak pada turunnya harga gabah di tingkat petani.

Petrus menegaskan bahwa dengan HET beras premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.500, maka sangat sulit dalam menerapkan harga pembelian dari produsen itu minimun Rp 7.000-an. “Bisa jadi harga di tingkat petani lebih rendah atau harga konsumen yang harus dinaikkan lagi,” tegas Petrus yang pernah menjadi praktisi penggilingan ini.

Dia menjelaskan, jika keuntungan pedagang di pasar tradisional sekitar Rp 200 per kilogram (kg) maka harga pembelian pemerintah (HPP) sudah diatas Rp 10.000 per kg. Kalau HET Rp 9.000 per kg pedagang tekor Rp 1.000/kg. Pedagang selanjutnya tidak mau rugi dan menekan pembelian gabah.

“Jika konversi rendemen 50% dikali dengan kerugian 1.000/kg itu setara 500/kg gabah kering panen/GKP. Jadi dengan acuan GKP di lapangan Rp 3.700/kg maka yang terjadi adalah harga di tingkat petani 3.200/kg. Ini berarti petani merugi Rp 500/kg,” tegas Petrus.

Dampaknya, lanjut dia, jika harga pembelian menjadi Rp 3.200/kg maka berdampak pada petaini dan akhirnya tidak mau berproduksi. “Gabahnya tidak ada yang beli. Inilah perhatian Peta Nusa,” katanya.

(Baca : Dari Rajeg, Peta Nusa Dideklarasikan Bersama Petani dan Nelayan)

Seperti diketahui, kasus penggerebekan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat, hendaknya menjadi titik tolak bagi pemerintah dalam membuat kebijakan perberasan.

Permendag No 47 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendag No 27 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen diketahui tidak mengatur pembagian jenis beras dan sanksi bagi pelanggar atas harga yang ditetapkan pemerintah tersebut. Permendag itu hanya menetapkan harga acuan atas sembilan komoditas, yakni beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, jagung, daging beku dan daging sapi, daging ayam ras, serta telur ayam ras, yang mana harga acuan berlaku sebagai harga eceran tertinggi (HET) di tingkat konsumen. [AF-02]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*