Jakarta – Usaha perikanan tangkap di Indonesia selama ini belum semuanya dilakukan secara transparan dan belum menerapkan good corporate governance. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengancam untuk mempersulit perizinan. Untuk itu, perlu perbaikan izin usaha perikanan tangkap untuk membenahi tata kelola perikanan tangkap.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Abdi Suhufan mengatakan, perbaikan izin usaha perikanan tangkap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan langkah positif untuk membenahi tata kelola perikanan. Perizinan merupakan pintu masuk untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor perikanan. Namun, upaya ini perlu dilakukan secara konsisten dan menyeluruh dari pusat sampai ke daerah.
“Karakteristik dan struktur perikanan tangkap Indonesia didominasi nelayan tradisional, selama ini dikontrol oleh pemerintah daerah. Ada gap kapasitas dan regulasi pusat dan daerah dalam hal izin usaha perikanan tangkap.
Dikatakan, pelaku usaha perikanan tangkap sudah sewajarnya mengelola bisnis dengan transparan, akuntabel dan jujur (fairness). “PNBP perikanan tahun 2017 lalu hanya Rp 491 miliar. Tertinggi selama ini, tapi rendah jika dibandingkan nilai produksi perikanan,” kata Abdi, dalam keterangan tertulisnya.
Untuk itu, kegiatan asistensi dan review perizinan KKP terhadap pemilik usaha perikanan tangkap sebagai terobosan dalam memperbaiki tata kelola perikanan. Namun, KKP harus konsisten dan menyeluruh pada semua pemilik kapal ikan yang mengajukan izin baru atau perpanjangan baik di pusat maupun didaerah.
Saat ini, jumlah kapal ikan ukuran di atas 30 GT yang memerlukan izin pusat sekitar 5000 kapal. Sementara kapal berukuran di bawah 30 GT yang beroperasi dan perlu izin provinsi dan kabupaten/kota jumlahnya mencapai 682.000.
“Penertiban izin kapal di pusat mesti diikuti oleh daerah. KKP perlu memberikan asistensi teknis pada daerah agar proses perizinan dilakukan dengan review terlebih dahulu,” kata Abdi.
Pemerintah provinsi harus proaktif memperbaiki perizinan kapal yang menjadi kewenangan provinsi. Jumlah kapal ikan yang sangat signifikan di provinsi memerlukan regulasi perizinan yang ramah terhadap pelaku usaha perikanan kecil di daerah.
Peneliti DFW-Indonesia, Widya Safitri mengingatkan pemerintah dan pelaku perikanan tangkap tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tapi juga memperhatikan aspek kesejahteraan pekerja perikanan terutama anak buah kapal (ABK).
Reformasi perikanan tangkap yang dilakukan oleh pemerintah mesti berdampak pada perbaikan kesejahteraan pekerja perikanan. Regulasi pemerintah tentang hal ini seperti Permen KP No Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.42 Tahun 2017 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan perlu segera diimplementasikan guna memberikan perindungan bagi pekerja perikanan.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku, masih menemukan beberapa pelaku industri sektor perikanan yang meminta izin menangkap ikan dengan tidak transparan. Pasalnya, perusahaan tersebut tidak melaporkan hasil tangkapannya dengan benar dan tak sesuai data.
“Jadi kenapa kemarin perizinan dikatakan dipersulit, karena datanya banyak yang tidak benar. Masa kapal di atas 200 GT bilangnya 20 GT? Izin yang diurus di pusat adalah untuk kapal industri perikanan ikan di atas 30 GT. Bukan nelayan namanya, bukan UMKM, karena mereka nangkap ikannya juga tidak benar datanya harus sesuai dengan muatannya,” ujar Susi, pekan lalu.
Be the first to comment