Belajar dari Inhil-Riau, Kelapa di Papua Barat Bisa Dioptimalkan

Kelapa di Kampung Nekori, Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat (Agrifood.id)

Agrifood.id – Riau merupakan provinsi yang paling banyak menghasilkan kelapa di Indonesia sejak beberapa dekade silam. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022 (Kementerian Pertanian) menunjukkan hingga akhir 2021 lalu, Riau memproduksi 396.379 ton kelapa dari luas areal mencapai 418.821 hektare (ha). Sentra utama produksi kelapa di Riau adalah Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), lalu disusul Kabupaten Kampar. Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Bengkalis.

Di Inhil terdapat salah satu perusahaan sebagai produsen dan pengolah kelapa terbesar yang tergabung dalam Sambu Group. Perusahaan yang dirintis Tay Juhana sejak 1967 tersebut sudah berkembang menjadi pemain terbesar di industri kelapa terintegrasi di Indonesia dan bertekad menjadi pemain utama dunia. Produk yang dikembangkan berupa santan dengan merek Kara, minuman air kelapa Kara Coco, sari buah, telah diekspor ke banyak negara. Brand Kara merupakan singkatan dari Kelapa Rakyat yang sejak awal dikembangkan pendirinya, Tay Juhana, perusahaan bertekad memberikan manfaat pada masyarakat sekitar.

Dalam buku Tay Juhana-Pelopor Industri Kelapa, Tay digambarkan sebagai seorang inovator yang prorakyat dan sekaligus berani mencoba sesuatu yang baru, yaitu berkebun kelapa di lahan yang tak subur. Setelah ayahnya pensiun pada tahun 1959 karena alasan kesehatan, Tay mengambil alih usaha tersebut dan tinggal di Kuala Enok mendirikan PT Pulau Sambu. Pada tahun 1983, Tay memperluas pabriknya ke Sungai Guntung dan pada tahun 1993 dia mendirikan pabrik di Pulau Burung. Melalui PT Pulau Sambu, Tay telah mengubah Indragiri Hilir (Inhil) dari sekadar produsen kopra menjadi wilayah yang menghasilkan produk hilir kelapa yang mempunyai nilai tambah yang sangat tinggi. Inovasi Tay dimulai dengan pemanfaatan lahan datar rendah, basah yang tidak subur, dan berawa-rawa. Ia membangun perkebunan kelapa dengan membangun parit-parit sehingga kelapa bisa tumbuh subur. Meskipun masyarakat setempat terlanjur berpendapat bahwa lahan tersebut susah diolah. Tradisi memelihara parit sudah ada sejak zaman Belanda yang dijalankan secara turun-temurun di Inhil. Lalu dikembangkan dengan teknologi yang dibuat sendiri oleh Tay yang dikenal dengan perkebunan sistem kanalisasi dengan water treatment ala Tay Juhana. Keberhasilan Tay ini menarik perhatian Presiden Soeharto untuk mengunjungi kebun kelapa yang pernah diberikan kode “G” yang artinya ide “gila”. Itu merupakan apresiasi Soeharto karena lahan marjinal yang jarang dilirik untuk pertanian tersebut bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Inovasi lain yang dilakukan Tay saat menghadapi gempuran minyak sawit. Pesatnya perkembangan perkebunan sawit membuat produk minyak kelapa tergusur. Namun Tay konsisten pada pilihannya dan melakukan inovasi dengan membuat produk hilir dari buah kelapa. Ia menciptakan kelapa parut kering, santan dalam kemasan, nata de coco dan virgin coconut oil (VCO), serta produk dari kelapa segar lainnya. Inovasi itu membuatnya tetap bertahan pada produk kelapa yang pada tahun 2018 lalu mengolah sekitar lima (5) juta butir kelapa setiap hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% kelapa dipasok dari luar Sambu Group, terutama dari perkebunan kelapa rakyat.

Salah satu kegiatan edukasi kemasan Kara pada November 2019 (Agrifood.id)

Sejak awal terjun dalam bisnis kelapa, Tay sudah berkomitmen untuk bersama dengan masyarakat. Hal itu dibuktikan ketika menjadi penampung kelapa untuk diolah, tidak ada satupun kelapa dari rakyat ditolak. Kalaupun tidak memenuhi syarat, itu adalah resiko yang ditanggung perusahaan. Selain itu, ketika musim ‘banjir kelapa’ banyak tertimbun dan terbuang karena rusak dan tidak bisa disimpan lama. “Perusahaan pernah terpaksa membuang 2 juta butir kelapa segar di saat panen raya awal tahun 2000,” demikian tertulis dalam buku Tay Juhana-Pelopor Industri Kelapa.

Baca : Santan Kelapa Kemasan Semakin Banyak Diminati


Mungkin inilah gagasan ‘Kara’ dari pendirinya untuk menampung semua kelapa rakyat. Bentuk komitmen tersebut ‘menjadikan’ brand Kara begitu akrab dengan sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Uraian terkait Kara dan pendirinya ini untuk menegaskan bahwa komitmen Sambu Group dalam pengembangan kelapa patut ditiru ke seluruh Indonesia karena banyak aspek yang disentuh. Tidak sekadar faktor ekonomi, tapi lebih dari itu ada aspek sosial dan pemberdayaan.

Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dan tercatat sebagai produsen utama kelapa dunia. Setelah Indonesia dengan rata-rata produksi 18,04 juta ton kelapa butir, Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan Filipina, India, Sri Lanka dan Brasil. Sekalipun Indonesia sebagai produsen terbesar, rerata nilai ekspor produk kelapa Filipina tercatat paling tinggi. Nilai yang tinggi tentu sejalan dengan beragam produk yang diolah dan diekspor.

Coco Levy
Ribuan pulau dan garis pantai yang panjang sebenarnya bisa mendorong peningkatan produksi dan produktivitas kelapa di Indonesia. Lahan-lahan tersebut menjadi potensi awal untuk memperluas perkebunan kelapa. Dari sisi teknologi tentu tidak menjadi hambatan selama bisa dipelajari. Pengalaman Sambu Group membangun industri dan bisnis kelapa sudah menjadi ‘guru’ yang sangat luar biasa. Andai saja ada dua atau tiga daerah di Indonesia seperti Inhil dengan investasi swasta yang bagus, Indonesia sudah menjadi kampiun kelapa dunia. Potensi pasar masih besar dengan berbagai produk turunan kelapa.

Sekarang tinggal kebijakan yang perlu untuk menopang industri dan bisnis kelapa. Filipina sebenarnya bisa menjadi contoh yang menarik ketika menempatkan kelapa sebagaimana kelapa sawit atau komoditas strategis lainnya di Indonesia. The Coco Levy Trust Fund Law (biasa disebut Coco Levy), sejenis pajak yang diatur setingkat undang-undang di Indonesia, pemerintah Filipina mempunyai acuan mengembangkan kelapa. Kebijakan itu menjadi instrumen kuat bagi petani, pelaku industri pengolahan dan sejumlah pihak terkait lainnya.

Untuk menjalankan undang-undang tersebut sekaligus mengawasi pengelolaan dan penggunaan dana Coco Levy dibentuklah Trust Fund Management Committee (TFMC). TFMC melakukan implementasi program dan kegiatan yang bermanfaat bagi petani kelapa dan pihak terkait, seperti penyusunan pedoman pencairan alokasi dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai melalui dana Coco Levy. “Program, proyek, dan kegiatan TFMC harus sejalan dengan Coconut Farmers and Industry Development Plan (CFIDP) yang sedang disusun Philippine Coconut Authority (PCA),” kata Ketua TFMC Carlos Dominguez III, seperti ditulis The Philippine News Agency, belum lama ini.

Coconut Farmers and Industry Development Plan (CFIDP) semacam Rencana Pengembangan Industri dan Petani Kelapa. TFMC membuat program pelatihan, pengembangan benih dan teknologi baru, asuransi tanaman dan akses kredit, yang berkolaborasi dengan seluruh industri, lembaga penelitian dan infrastruktur.

Gambaran kelapa di Filipina itu bisa diduplikasi di Indonesia. Hal itu sangat bisa dilakukan dan sudah ada buktinya di Inhil, Riau. Jika ada kebijakan seperti kelapa sawit sebagai tanaman perkebunan atau padi sebagai tanaman pangan maka kelapa bisa berkembang cepat. Konsep dan prinsip Coco Levy di Filipina ini mirip dengan pengembangan kelapa sawit atau komoditas lainnya di Indonesia. Perbedaannya adalah tingkatan kebijakan (hirarki aturan) dan otoritas yang menjalankannya. Sejumlah kebijakan yang cukup bagus di Indonesia sulit dieksekusi karena berada pada hirarki yang rendah seperti keputusan tingkat menteri atau di bawahnya. Demikian juga, perlu sedikit modifikasi karena keberadaan industri pengolah kelapa di Indonesia belum begitu banyak seperti di Filipina. Tentu ada beberapa karakteristik yang membutuhkan pendekatan khusus agar kelapa bisa dioptimalkan.

Baca : Kawasan Induk Pengolahan Minyak Kelapa Cegah Harga Anjlok


Untuk tahap awal, daerah-daerah potensial dengan produksi kelapa cukup banyak bisa diurus dengan lebih serius. Mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Lampung, Kalimantan Barat, Maluku dan Maluku Utara merupakan potensi kelapa. Apakah ada kebijakan dan program khusus terkait kelapa untuk daerah-daerah tersebut? Kebijakan mungkin minim dan program biasanya ada, tetapi bisa jadi hanya sebatas permukaan alias belum menyentuh aspek mendasar dalam pengembangan kelapa. Dari sisi swasta, tidak banyak yang melakukan ekspansi dan inovasi sebagaimana dilakukan Sambu Group. Kendati demikian, pemerintah dan semua pihak lainnya perlu terus mendorong berbagai investor untuk masuk dan bergelut dengan kelapa. Beberapa tahun lalu banyak ‘rebutan’ investasi tetapi hanya sekadar memenuhi kebutuhan air minum kelapa dalam kemasan.

Kelapa dijuluki sebagai Tree of Life (Pohon Kehidupan) sehingga investasi yang harus dikembangkan pun sangat beragam. Umumnya dikenal kelapa dalam dan kelapa genjah yang memiliki perbedaan pada kecepatan berbuah, tinggi tanaman, dan ukuran serta jumlah buah. Seluruh bagian pohon kelapa (kelapa dalam dan kelapa genjah) mempunyai manfaat dan nilai, mulai dari akar, batang, daun dan buahnya. Daun kelapa sudah begitu akrab dengan tradisi dan budaya Indonesia. Daun tua bisa jadi atap rumah dan tulang daun dibuat sapu lidi. Batang kelapa sebagai bahan baku perabotan atau bahan bangunan dan jembatan darurat. Buah kelapa terdiri dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa mempunyai nilai ekonomis tinggi. Daging buah dapat dikonsumsi langsung atau kebutuhan berbagai masakan atau diproses menjadi santan kelapa, kelapa parutan kering (desicated coconut) dan minyak goreng.
Bisa juga diolah menjadi kopra sebagai bahan baku minyak goreng, sabun, lilin, es krim atau diproses lagi menjadi bahan baku produk oleokimia seperti asam lemak (fatty acid), fatty alcohol, dan gliserin. Hasil samping ampas kelapa atau bungkil kelapa merupakan salah satu bahan baku pakan ternak.

Momentum
Sejak menjabat sebagai Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) nyaris tidak pernah bersinggungan dengan kelapa. Namun, pada 11 Agustus 2022 lalu, saat berkunjung ke Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Jokowi mencanangkan Penanaman Satu Juta Batang Kelapa Genjah Se-Indonesia. Pencanangan itu untuk memperkuat sektor pertanian menghadapi krisis pangan global sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mengoptimalkan lahan pekarangan dan hamparan. Kelapa menjadi salah satu andalan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif.
“Lahan-lahan yang tidak produktif ditanami, seperti sekarang yang kita lakukan, kelapa genjah. Yang nanti hasilnya dua tahun, dua setengah tahun, satu tahun bisa produksi satu pohon bisa 180 buah, yang itu bisa dibuat gula semut, bisa dibuat minyak kelapa, yang juga bisa dijual buahnya untuk minuman segar,” ujar Presiden, sebagaimana keterangan pada laman https://setkab.go.id.

Presiden Joko Widodo mencanangkan Penanaman Satu Juta Batang Kelapa Genjah se-Indonesia (Setkab)

Pencanangan oleh Joko Widodo merupakan Program Kelapa Genjah Sebar (Kejar) dengan penanaman perdana dilakukan di Solo Raya (Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali) dengan target 200 ribu batang ditanam. Ini merupakan momentum yang selanjutnya bisa menjadi pemicu untuk berbagai agenda perkelapaan nasional. Apalagi, pola yang mau dikembangkan adalah integrasi kelapa dengan jagung, cabai, alpukat dan kambing. Jajaran kementerian terkait dan pemerintah daerah perlu menyambut momentum pencanangan tersebut. Tentu banyak tantangan yang harus diatasi di tengah krisis keuangan nasional dan global. Di sinilah perlunya inovasi, kreativitas dan terobosan sehingga kelapa dan pelaku yang terkait kembali bergairah.

Hampir bersamaan dengan pencanangan oleh Joko Widodo, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang berada dalam koordinasi Kementerian Perekonomian menetapkan 13 Proyek Stategis Nasional (PSN) baru. Salah satu dari 13 PSN baru itu adalah pembangunan kelapa dalam dan industri turunannya di Papua Barat. Penetapan KPIP sebagaimana dalam keterangan pada Rabu (10/8/2022) itu sejalan dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2022. Yaitu tentang Perubahan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN. Belum banyak informasi yang bisa digali dari penetapan kelapa dalam sebagai PSN tersebut. Berbeda dengan 12 PSN lainnya yang banyak dibahas media, seperti pembangunan Kawasan Industri Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) dan Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus serta infrastruktur pendukungnya. Demikian juga beberapa PSN dari sektor energi, pangan, hingga smelter. Niat pemerintah untuk menggenjot kelapa perlu diberi apresiasi. Lagi-lagi, tindak lanjut para pihak terkait menjadi tanda tanya besar.

Baca : Unilever Dorong Peningkatan Produksi Kelapa


Dengan dua momentum diatas perlu juga menelaah potensi kelapa di Papua dan Papua Barat. Salah satu kajian United Nation Development Programme (UNDP) dan International Labour Organization (ILO) dengan biaya Pemerintah Selandia Baru bisa menjadi gambaran awal. Kajian pada tahun 2013 itu menjelaskan potensi kelapa yang cukup besar di Provinsi Papua. Memang tidak semua kawasan dengan konsentrasi kelapa yang banyak tetapi peluang untuk menambah populasi pohon kelapa sangat terbuka. Garis pantai di Tanah Papua bisa dikatakan sangat panjang. Sentra-sentra kelapa yang sudah ada di Provinsi Papua seperti Sarmi dan Nabire, juga di Provinsi Papua Barat mulai dari Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Tambrauw, Fakfak dan Kaimana bisa dioptimalkan.

Daerah-daerah tersebut mempunyai beberapa sentra kelapa rakyat dan memiliki wilayah pantai untuk pengembangan lebih lanjut. Bahkan, dengan bibit unggul dan teknologi yang sudah maju, pengembangan kelapa diarahkan untuk dataran-dataran yang jauh dari wilayah pantai. Jutaan hektare lahan tidur atau terlantar di Papua dan Papua Barat bisa dioptimalkan untuk produksi kelapa. Bila perlu, lahan perkebunan kelapa sawit yang baru saja dicabut izinnya oleh pemerintah pusat karena belum ada aktivitas produksi bisa dialihkan untuk perkebunan kelapa. Dengan kepemilikan lahan oleh ulayat di Tanah Papua bisa saja mengadopsi pola Sambu Group di Inhil sehingga kelapa rakyat yang dikembangkan.

Ilustrasi Kabupaten Tambrauw, Papua Barat (Ist)

Diversifikasi
Kajian UNDP dan ILO hampir satu dekade silam tentu bisa dilengkapi dengan kajian kekinian dari berbagai lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Universitas Papua (Unipa) di Manokwari, Papua Barat, pernah membuat penelitian tentang potensi hilirisasi kelapa di Kabupaten Tambrauw. Sebagai provinsi terluas kelima di Indonesia, Papua Barat memiliki luas lahan potensial untuk berbagai komoditas perkebunan, termasuk kelapa. Data Pemerintah Kabupaten Tambrauw mencatat sekitar 4.048 hektare (Ha) lahan wilayahnya ditanami kelapa, dengan kemampuan produksi mencapai 5.000 ton/tahun. Kajian Unipa tersebut diperkuat dengan pemetaan kelapa di Tambrauw oleh Bank Indonesia (BI) Perwakilan Papua Barat pada November 2019. Adapun rekomendasi akhir pemetaan itu adalah perlu dibentuknya institusi bisnis atau korporatisasi petani kelapa.

Penelitian Unipa tersebut sekaligus dilakukan program pengabdian kepada masyarakat (PKM). Kegiatan itu berlangsung 3 bulan (September-November 2021) yang melibatkan mahasiswa, staf pengajar dari Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, dan beberapa lembaga dalam kampus Unipa. Konsentrasi kegiatan dilakukan pada 6 distrik (kecamatan), yakni Sausapor, Bikar, Kwoor, Tobouw, Abun, dan Amberbaken, di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Hasil kegiatan program ini mencakup pendataan luas areal dan produktifitas perkebunan kelapa di Tambrauw, informasi pemasaran kopra, pembentukan kelompok tani, pelatihan peningkatkan kuantitas dan kualitas produksi kopra, minyak kelapa, virgin coconut oil (VCO), arang tempurung kelapa serta cocopeat.

Baca : Mahi-Mahi Surf Resort, Dari Konservasi Penyu Hingga Mengolah Kelapa

Dari penelitian tersebut, Unipa mendorong pelatihan dasar memperkenalkan produk-produk turunan kelapa untuk mengajak masyarakat memanfaatkan kelapa dengan lebih optimal. Adapun beberapa rekomendasi yang diberikan di antaranya perlu survei lebih detail terkait jumlah kelapa pada setiap distrik dan perkiraan usia pohon untuk mengetahui produktivitas kelapa. Kemudian kelompok yang telah konsisten menghasilkan produk dilatih meningkatkan produk turunan. Produk yang dihasilkan agar mudah dipelajari dan cepat dipasarkan. Kemudian perlu pelatihan manajemen kelompok seperti pembukuan keuangan, pengemasan dan pemasaran produk.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw Thomas Kofiaga memberi apresiasi atas penelitian yang dilakukan Unipa tersebut. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya mengoptimalkan potensi kelapa di Tambrauw yang memiliki lahan produksi masih cukup luas. “Umumnya belum banyak diolah atau dipasarkan secara terbatas. Jika potensi ini dikembangkan dan bisa diserap pasar, masyarakat pasti semangat. Kami dari pemerintah akan memfasilitasinya,” ujar Thomas kepada Agrifood.id pekan lalu.

Sejauh ini, petani kelapa hanya menjual kelapa segar ataupun dalam bentuk kopra kepada pengepul tanpa adanya nilai tambah yang dihasilkan. Harapannya melalui inisiatif hilirisasi petani kelapa nantinya dapat menghasilkan produk turunan seperti kopra, arang tempurung, cocopeat (media tanam dari serabut kelapa), serta dapat menjangkau pemasaran (kontrak penjualan) dengan industri besar. Pemanfaatan bungkil kopra dan sagu parut kering menjadi olahan pakan ternak memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.

Kelapa di Kampung Akrin, Distrik Kebar Timur, Tambrauw, Papua Barat (Agrifood.id)

Kajian terpisah dari Faperta Unipa terkait pendapatan usaha kopra di Kampung Hopmare, Distrik Kwor, Tambrauw, menunjukan rata-rata pendapatan usaha kopra sebesar Rp 2,308 juta per bulan dan pendapatan per tahun sebesar Rp 27,696 juta. Uang sebesar ini cukup berarti bagi masyarakat yang sebenarnya masih mengusahakan kelapa secara parsial. Artinya, potensi peningkatan pendapatkan bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Daud Amnan, salah satu warga di Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw menjelaskan bahwa penghasilan tambahan dari kelapa bisa membantu perekonomian keluarga. Meskipun penghasilan dari kelapa masih tergolong kecil, tetapi hal itu bisa menarik minat masyarakat. Dengan demikian, selain cabai, singkong (kasbi), ubi (petatas) dan sayuran yang biasa dijual, kelapa pun menjadi tabungan keluarga. “Umumnya kelapa masih sebatas tanaman sela dan sekadar memenuhi konsumsi keluarga. Saya yakin kelapa tidak hanya berkembang di kawasan pantai, di Kebar Timur ini juga ada beberapa pohon kelapa yang subur dan banyak buahnya. Ini berarti bisa diperluas pada lahan-lahan masyarakat,” ujar Daud kepada Agrifood.id di Tambrauw, Senin (17/10/2022).

Sejalan dengan berbagai penelitian dan potensi kelapa di Tambrauw, Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw pun mulai menyusun sejumlah program secara bertahap. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah pengembangan bibit kelapa dan penanaman seluas 130 ha di kebun milik masyarakat. “Ada sekitar 14.000 bibit pohon kelapa yang disemaikan dan dilakukan penanaman. Lahan yang disiapkan itu adalah lahan milik masyarakat, pemerintah siapkan bibit pohon kelapa,” terang Thomas di Fef, Tambrauw, pada awal Oktober lalu.

Dikatakan, pengembangan kelapa difokuskan pada distrik Sausapor dan Bikar. “Untuk penanaman 100 ha pendanaannya dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sedangkan 30 ha dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Provinsi Papua Barat. Sebagai kabupaten yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di Papua Barat, kami akan terus melakukan pengembangan,” kata Thomas yang juga Ketua Alumni Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Manokwari.

Komoditas kelapa juga sangat sejalan dengan kebijakan Kabupaten Tambrauw yang tengah mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi. Artinya, aktivitas perekonomian di Tambrauw senantiasa menjaga keragaman konservasi dan hutan lindung di Tambrauw. Jadi, perluasan lahan kelapa bisa dilakukan di lahan-lahan masyarakat (ulayat) dan juga pada lahan dengan kategori areal penggunaan lain (APL).

Sebagaimana Tambrauw, Kabupaten Manokwari selaku kabupaten induk, pun sudah memberi perhatian pada kelapa. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Manokwari mendorong pengembangan komoditas kelapa dalam di Distrik Sidey yang juga kawasan pantai. Sementara itu, masyarakat Sidey juga terus meningkatkan aktivitas pengolahan kelapa. Mama-mama Papua di kawasan ini memproduksi VCO, tepung kelapa, dan briket arang tempurung kelapa untuk bahan bakar memasak. Salah satunya Kelompok Usaha Tanjung Kelapa yang juga binaan dari Bumdes Sidey Maju Bersama. Usaha pengolahan kelapa ditekuni mama-mama Papua karena ingin membantu perekonomian keluarga. Adapun produk-produk yang diolah diberi label SYCO, yang artinya Sidey Coconut. Dalam sebulan, SYCO membutuhan 2000-3000 butir kelapa untuk diolah. Selain Kelompok Usaha Tanjung Kelapa, geliat usaha pengolahan kelapa di Sidey juga dikembangkan oleh Arnold Moktis yang memproduksi minyak kelapa. Arnold awalnya melakoni bisnis penjualan buah kelapa.Namun, hasil usaha tersebut tak sesuai ekspektasi. Kurangnya pembeli, mengakibatkan banyak buah kelapa milik Arnold rusak. Dia kemudian melakukan diversifikasi dengan menekuni bisnis pengolahan minyak kelapa tanpa bahan pengawet.

Pelatihan pengolahan kelapa di Distrik Sidey, Manokwari, Papua Barat (Ist)

Tambrauw, Manokwari, Sorong Raya, dan Raja Ampat merupakan kawasan yang bisa dikembangkan kelapa dengan baik. Daerah-daerah di ‘kepala burung’ Papua Barat tersebut mempunyai sebaran lahan yang cukup luas. Ini berarti apa yang digariskan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dengan mendorong kelapa dalam sebagai salah satu Proyek Stategis Nasional (PSN) sangat logis utuk diwujudkan. Memang masih banyak tantangan yang harus diatasi agar PSN bisa terwujud. Semua pihak di Papua Barat maupun di luar Papua Barat perlu berpartisipasi dan berkolaborasi sehingga komoditas kelapa memberikan banyak manfaat untuk masyarakat dan negara Indonesia. Inhil-Riau yang dimotori Sambu Group telah menjadi pelopor dalam agribisnis kelapa dengan tantangan yang tidak mudah pada lahan dan iklim, maka Papua Barat seharusnya bisa mewujudkannya. Raja Ampat, Manokwari Selatan, Teluk Bintuni, Kaimana hingga Fakfak juga mempunyai potensi yang hamper sama dengan Tambrauw dan Manokwari seperti uraian awal tulisan ini.

Tahap awal mungkin tidak perlu dengan target terlalu muluk untuk mengirim olahan kelapa ke luar Papua Barat atau ekspor ke luar negeri. Cukup memenuhi kebutuhan Provinsi Papua Barat atau hingga ke Provinsi Papua saja sudah langkah yang bagus. Saat ini hampir dipastikan bahwa sebagian besar kebutuhan santan dan minyak goreng, juga produk olahan kelapa lainnya, masih banyak dipasok dari Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Manado (Sulawesi Utara). Ini baru seputar produk makanan dan minuman, kelapa bisa diolah untuk kepentingan kesehatan yang dipadu dengan berbagai ekstrak tanaman khas Tanah Papua. Penetrasi pasar memang bukan ranah pemerintah untuk mengintervensi, tetapi himbauan dan kebijakan khusus perlu dipertimbangkan para kepala daerah di kabupaten se-Papua Barat. Hal itu agar iklim usaha lokal bisa berkembang. Bola salju pun akan bergulir karena aktivitas produksi menggerakkan ekonomi, butuh tenaga kerja dan semakin banyak yang membudidayakan kelapa. Pada akhirnya kesejahteraan rakyat pun diharapkan meningkat. [AF-01/Heri Soba] agrifood.id@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*