Bogor, Agrifood.id – Bagi orang Nigeria, singkong sudah menjadi makanan utama. “Singkong itu sudah seperti beras bagi kita di Indonesia. Tiada hari tanpa singkong,” kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember Prof Achmad Subagio dari Benin, Nigeria.
Saking pentingnya singkong hingga ada ungkapan “no cassava, no power” alias tanpa singkong tidak ada kekuatan. “Jadi kalau belum makan singkong, sama dengan masih lemas,” ujar Soebagio yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Industri dan Teknologi Masyarakat Singkong Indonesia (MSI).
Tentu hal ini tidak mengada-ada karena memang Nigeria merupakan penghasil utama singkong masyarakatnya pun sudah menempatkan singkong sebagai pangan strategis. Demikian juga ketahanan pangan masyarakat ketika menghadapi berbagai krisis, termasuk pandemi Covid-19 saat ini, maka singkong menjadi andalan. Sebuah kondisi yang sangat diharapkan terjadi di Indonesia, sekalipun cukup sebagai substitusi beras dalam jumlah yang proporsional.
Ulasan diatas merupakan salah satu yang dibahas Achmad Soebagio dalam obrolan internal MSI menjelang diskusi online (webinar) perdana Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Ini merupakan kegiatan perdana MSI sejak terbentuknya Dewan Pimpinan Nasional (DPN) yang baru yang dipimpin Ketua MSI Arifin Lambaga menggantikan Suharyo Husen.
Baca : Produsen Pangan Segar Mulai Beralih ke Bisnis Digital
Selain Soebagio, hadir juga dalam webinar itu Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, Nurpudji A Taslim (pakar gizi dan guru besar Universitas Hasanuddin), Enny Sudarmonowati (peneliti LIPI dan dewan pakar MSI) dan Arifin Lambaga selaku Ketua Umum MSI. Diskusi didahului pengantar dari Andi Nuhung (Dewan Penasihat MSI) dengan moderator Ima Zainuddin (Sekjen MSI).
Setelah Munas MSI 11 Maret 2020 lalu, Achmad Subagio pun terbang ke Nigeria dalam rangka memberikan konsultasi terkait teknologi pangan sesuai kepakarannya. Namun, pandemi Covid-19 membuatnya harus “tertahan” sudah hampir tiga bulan lamanya di Benin, kota yang terletak kurang lebih 200 mil di timur kota Lagos, bekas ibu kota Nigeria sebelum pindah ke ibu kota baru, Abuja.
Pemerintah Nigeria menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) di kota-kota besar semenjak 21 Maret 2020 dan kebijakan itu otomatis menghentikan penerbangan internasional, sehingga dosen yang akrab disapa Prof Bagio itu akhirnya tertahan di Nigeria hingga sekarang. Kesehariannya di Benin difasilitasi oleh perusahaan yang mengundang dengan tetap mengutamakan protokol mencegah Covid-19.
Baca : Keberadaan IFSI Beri Jaminan Bagi Masyarakat
“Ada fasilitas dari perusahaan yang siap melayani kebutuhan sehari-sehari selama tinggal di Kota Benin, seperti penginapan, transportasi, pengawalan, makanan dan lainnya,” katanya seperti ditulis Antara.
Kembali ke singkong, Pemerintah Nigeria dan masyarakatnya memang sangat menaruh perhatian pada singkong. Nigeria, Thailand, dan Brasil merupakan penghasil singkong utama dunia, kemudian disusul Indonesia. Tidak hanya untuk kebutuhan pangan, sejumlah inovasi untuk industri berbasis singkong pun berkembang di Nigeria.
FAO dalam sebuah laporannya mengulas khusus tentang Revolusi Industri Singkong di Nigeria. Demikian juga Oxford Business Group dalam sebuah tulisannya menyebutkan Nigeria mendorong peningkatan profil ekonomi dari singkong.
Sekalipun sepintas sepertinya tidak sudah bagi Indonesia untuk mendekati Nigeria tetapi rupanya pengembangan singkong dan produk turunannya itu tidak mudah. Mulai dari lahan, benih dan varietas, produktivitas, pembiayaan usaha, harga jual yang bersaing, pengolahan dan produk turunan, kebiasaan konsumsi hingga mengubah citra negatif dari singkong.
Pekerjaan rumah terkait singkong ini tidak mudah. Namun, semuanya bisa dimulai asal ada kemauan. Lahan, iklim, inovas dan kepakaran, setidaknya Indonesia sudah punya. Ada ratusan penelitian, inovasi dan tulisan ilmiah terkait singkong sudah dilakukan. Masyarakat pedesaan sudah akrab, ditambah situasi krisis karena pandemi Covid-19 membuat banyak pihak melirik singkong. Para pelaku usaha dan industri yang selama ini didominasi dengan tepung terigu pun sebenarnya sangat berminat. Lalu dari mana memulainya?
Baca : Jadikan Singkong Sebagai Komoditas Strategis
Nasib suram singkong jangan sampai seperti diutarakan sosok petani singkong Udin (45 tahun) yang bermukim tidak jauh dari sebuah kampung di pinggiran Tol Sentul, Bogor, atau seberang tol dari gedung Sentul City International Convention Center (SICC).
Bagi Mang Udin, demikian panggilannya, singkong sudah susah dicari karena lahan petani yang banyak dijual dan tidak ada generasi muda yang berminat untuk menanam sinkong. “Dulu, diatas gedung SICC dan hampir semua pemukiman di kawasan Sentul itu adalah kebun singkong,” katanya lirih.
Sejarahnya, kawasan Sentul dan sekitarnya adalah sentra produksi singkong. Produk turunannya, tapioka di Bogor mengalami masa kejayaan pada tahun 1970-an hingga pertengahan 1990-an. Selain lahan yang habis, beberapa pabrik tapioka di Bogor sudah berhenti produksi karena kesulitan bahan baku dan ada yang berubah fungsi.
“Masih ada beberapa pabrik tapioka tapi produksinya terbatas untuk memasok kebutuhan pembuatan pempek karena rasanya beda dengan tapioka Lampung,” demikian sumber Agrifood.id.
Tentu lahan singkong tidak hanya sebatas di Sentul, Bogor, atau Jawa Barat. Indonesia masih mempunyai jutaan hektare lahan yang tidur yang sebenarnya bisa menyaingi produksi di Nigeria atau negara lainnya. “Data menunjukkan masih ada 12 juta hektare lahan tidur atau kritis yang bisa menghasilkan singkong,” tegas Ketua MSI Arifin Lambaga.
Mudah-mudahan, ada saatnya nanti masyarakat dan pemerintah Indonesia pun menempatkan singkong semakin strategis untuk memenuhi pangan dan sekaligus bahan baku sejumlah industri. [AF-04]
agrifood.id || agrifood.id@gmail.com
Be the first to comment